Lebaran Tanpa Ayah
Malam itu telah datang
Membawa sejuta senyum dari surgaNya
Aku terlelap
Berharap
jemari kekarmu meraihku
Airmata
yang terus menghujam ketika hari kemenangan itu tiba. Aku merindukan sosoknya.
Sosok yang ingin kutatap, kupeluk, bahkan aku ingin bermanja di atas
pangkuannya, Ayah. Entah berapa kali lebaran, aku selalu bersama Ibu dan
keluarga lainnya. Tak pernah kutemui Ayah di dalam kebahagian kami. Aku tersudut.
Kadang aku merasa Allah tak adil dalam hidupku. Ah, lagi-lagi aku hanya remaja
polos yang haus akan rasa sayang dari Ayah.
“Nak,
kok malah melamun? Lihat tuh teman-temannya pada pergi takbiran,” teguran
lembut Ibu membuyarkan lamunanku tentang Ayah. Ada panas yang menggantung di
ujung kelopak mataku. Tidak! Aku tak ingin Ibu melihat kesedihanku.
“Bentar
lagi, Bu. Lagian belum ada yang jemput kok,” sahutku berusaha tegar. Ya, hanya
itu satu-satunya cara mengelabui Ibu.
Sepeninggal
Ibu, aku melihat foto Ayah bersama Kakek. Benda hangat itu akhirnya keluar
tanpa perintahku. Ayah, aku rindu kamu. Ya
Allah, kutitipkan setetes rindu untuknya.
“Kalau
belum pergi, sebaiknya zakat dulu. Nanti kamunya kelupaan,” suara Ibu di balik
dapur mengingatkanku. Aku mengangguk meski Ibu tak melihatku.
Meski
di luar masih hujan, kukeluarkan sepeda motor. Membawa bungkusan hitam yang
berisi zakat. Tak peduli dingin yang terus menusuk tulangku, kuperlambat laju
sepeda motor yang kubawa. Di depan rumah yang begitu sederhana, kumatikan
sepeda motor. Mengetuk pelan pintu rumah tanpa alat penerangan seperti lainnya.
Hatiku
terenyuh saat pemilik rumah membukakan pintunya. Aku melihat kebahagianku di
sana. Keluarga lengkap. Ada Ayah, Ibu, anak-anak yang lucu. Ah, kapan aku seperti mereka? Kapan aku
benar-benar memiliki sosok Ayah? Kapan aku…? Tak seharusnya aku selalu
mempertanyakannya. Jawabannya sudah jelas di mataku. Aku tak akan bertemu
dengannya, kecuali kematian mempertemukan kami.
“Masuk,
Nak,” ucap perempuan setengah baya itu mengagetkanku.
Buru-buru
kesembunyikan wajah iriku padanya. Bergegas membayar zakat, seperti apa yang
kuniatkan tadi. Tanpa menunggu lama, aku pamit pulang. Aku takut perasaanku tak
terkendali melihat kebahagian mereka.
Gerimis
masih menikamku. Kuputar arah untuk menuju tempat yang kurasa paling nyaman
untuk menyendiri.
Allaahu akbar.. Allaahu akbar.. Allaahu akbar.....
Laa - ilaaha - illallaahu wallaahu akbar
Allaahu akbar walillaahil – hamd
Gema takbir di mana-mana.
Aku tertunduk lesu. Tak kuhiraukan hiruk pikuknya kota yang mulai ramai
dipadati kendaraan bermotor. Tak peduli gerimis, semuanya larut dalam
kemenangan dalam sebulan Ramadhan, kecuali aku.
*
“Bu, aku minta maaf lahir
batin. Jika selama ini aku selalu menyusahkan Ibu, buat Ibu marah dan kecewa.
Maaf juga Bu, aku belum bisa beri kebahagian seperti yang Ibu berikan padaku.
Di bulan Syawal ini, aku ingin Ibu memaafkan semua kesalahanku,” sungkemku seusai
pulang shalat Id.
Kurasakan tubuh Ibu
bergetar. Aku tahu, pasti Ibu menangis. Ibu pasti sedih. Semua anak-anaknya
merantau dan tak ada yang kembali, kecuali aku. Tanpa kusadari, Ibu memelukku.
Airmatanya membasahi jilbab yang kukenakan. Dadaku sesak. Maafkan aku Ibu,
yang selalu mempertanyakan Ayah. Aku tahu, aku anak yang egois, ucapku
dalam hati.
Ibu melepaskan
pelukannya. Tak ada satu katapun yang terucap. Matanya mengisyaratkan
kebahagian dan kesedihannya yang begitu dalam. Entah apa itu. Aku sendiri tak
tahu. Ibu beranjak dari duduknya. Aku melangkah ke dapur. Di sana sudah tersaji
lontong sayur khas lebaran, ketupat, kue lebaran, dan masih banyak lainnya.
Aku duduk di daun jendela
kamar. Menatap lekat foto yang ada digenggaman tanganku. Ayah, lebaran ini
masih sama. Sepi. Sampai kapan hatiku terus menolak kepergianmu. Aku belum
ikhlas. Ayah, kapan lebaran ini terasa lengkap dengan hadirmu? Apa setiap
lebaran aku hanya bisa melihat fotomu? Melihat kebisuan yang ada. Ayah, lebaran
akan selalu sepi, meski beribu akan jutaan kebahagian ada di sini. Ayah, aku
merindukanmu
“Tulisan ini
diikutkan dalam Tjerita Hari Raya yang diselenggarakan oleh @leutikaprio.”