Seputih Cinta Jingga
Oleh: Ayu Ira Kurnia Marpaung
Aku masih berdiri di pantai.
Menikmati hembusan angin yang bermain manja pada belaian rambutku. Deburan
ombak masih berlomba untuk mencapai bibir pantai dengan adu cepat. Terlihat
senja tersenyum dengan memperlihatkan jingganya pada cakrawala. “Aku merindukanmu,”
desahku lirih.
Berkali-kali aku melempar batu
kerikil ke laut sana. Tenggelam dan tidak kembali. Apa rasa ini seperti batu
tadi? Datang menghiasi hari-hariku dan tenggelam oleh waktu yang
memenjarakannya? Tuhan, kemana langkah ini harus mencarinya. Aku terlalu lelah
untuk membiarkan cinta ini terurai pada tempat yang salah. Cukup sudah rasa
sakit yang pernah merayap pada hati ini.
Aku terhempas pada pasir pantai.
Membiarkan ombak membasahi tubuhku. Menatap senja yang akan segera datang untuk
memberi obat penawar rindu. “Hujan, di mana kau? Apakah aku harus memanggilmu
dengan mantra kerinduan?” desahku lirih.
Aku bangkit dan memandang laut yang
membentang. Merentangkan tanganku lebar-lebar. Membiarkan angin membawa semua
resah yang bergelayut dalam pori-pori kehidupanku.
*
“Hai, apa yang kau lakukan?”
Aku hanya menoleh sesaat,kemudian
melanjutkan pandanganku pada rinai hujan yang masih setia menemaniku menikmati cappuccino. “Dasar, ganggu orang saja,”
rutukku lirih.
“Kau sedang apa?” Ia mengulang
pertanyaannya hingga membuatku terusik. Kali ini aku mendesah panjang.
“Apa pedulimu!”
“Aku hanya penasaran saja. Sedari
tadi aku memperhatikanmu hanya mengaduk-aduk gelasmu. Terus manyun ketika
melihat luar hujan masih mengguyur kota ini,” katanya panjang lebar.
“Aku paling benci hujan.” Jawaban
yang menurutku sangat tepat. Tanpa seizinku dia menempati sofa kosong di sampingku. Seakan-akan dia orang yang sangat berarti
saat itu.
“Aku suka hujan. Kau tau?”
“Dasar aneh! Untuk apa juga aku
harus tahu. Itu nggak penting buat hidupku,” omelku dalam hati.
“Kau harus tahu. Karena aku akan
mengajakmu untuk menyukai hujan.” Dia seakan membaca pikiranku. Dasar bego,apa
peduliku.
“Hujan itu sangat indah. Kau bisa
membaur bersama hujan jika kau merasa sendiri atau bersedih. Hujan itu
menyejukkan, aromanya yang membuat kita merasa damai. Kau tahu, hujan juga
memberikan keindahan yang sangat luar biasa.”
Aku memandangnya heran. “Kau bilang
hujan memberikan keindahan. Apa nggak sebaliknya? Hujan hanya bisa mengurungku
berlama-lama dalam cafĂ© ini.”
“Hei, kau salah. Hujan akan memberi
pelangi. Itu keindahannya. Kau tau semua orang menyukainya.”
“Oh, ya boleh aku mengetahui namamu?”
tanyanya seolah tak menggubris kekesalanku.
“Jingga.” Ucapku pendek.
*
Pertemuan yang membuatku harus
sering bertemu dengannya. Sosok misterius yang selalu hadir saat hujan
membasahi bumi. Entah mengapa ada perasaan aneh yang menyelimutiku. Antara
perasaan senang, benci,bahkan deg degan.
“Tuhan, perasaan apa ini? Aku benci
lelaki yang menyukai hujan. Sangat.” Aku menggigit bibirku. Sudah terlalu
sering aku tersakiti dengan lelaki yang menyukai hujan. Entahlah,seperti duri
yang perlahan menyobek hatiku hingga terasa perih. Aku tak mengerti kesalahan
apa yang telah kulakukan hingga aku seperti mendapatkan kutukan ini.
Bukan ingin menyalahkan takdir yang
selalu mempertemukanku dengan lelaki penyuka hujan. Seperti kebetulan yang
sudah direncanakan olehNya. Aku hanya bisa mengutuk dan mengutuk diri. Akankah
hujan bisa kembali bersahabat denganku, Jingga? Pertanyaan bodoh yang selalu
hadir dalam bayangan tidurku.
*
Hari ini aku lebih awal pulang dari
sekolah. Maklum ada rapat guru. Aku memilih pergi ke pantai menghabiskan waktu
senggangku. Ya, pantai adalah tempat favoritku untuk bisa membuat pikiranku
lebih fresh. Selain melihat senja
berjam-jam, aku juga suka laut yang biru. Menurutku laut dan senja dua hal yang
sangat indah. Apalagi dengan balutan hujan yang saat ini selalu menghiasi
hari-hariku.
Hampir satu jam aku duduk di
hamparan pasir. Menikmati jilatan ombak pada kaki telanjangku. Tanpa sengaja
mataku merekam kejadian yang membuatku shock.
Rangga bersama orang lain begitu mesranya mereka bergandengan tangan. Aku
tergugu. Tanpa dikomando airmataku jatuh membasahi pipiku. Dengan sisa-sisa
kekuatan yang kumiliki saat ini, kucoba menghampiri Rangga.
“Rangga,” panggilku lirih. Tanpa
merasa bersalah dia menoleh dan menatapku datar dengan jawaban “ya”.
“Siapa
dia? Ada hubungan apa denganmu?” tanyaku terbata menahan amarah yang sudah
bergejolak.
“Dia Sasha pacar baruku. Oh ya, aku
belum mengenalkannya denganmu. Sasha sangat mengerti tentang aku dibanding
dengan dirimu. Satu hal yang harus kamu ketahui, aku bukan cowok bodoh yang mau
menemani kamu berjam-jam hanya untuk melihat senja bersama deburan laut.”
Ucapan Rangga seperti palu yang menghancurkan cermin hatiku. Berantakan dan
meninggalkan puzle yang tidak akan mungkin bisa disatukan kembali.
“Ja…di…” Aku kehabisan kata yang
akan kuucapkan. Tanpa mempedulikanku yang terpaku, Rangga berlalu dari
hadapanku dengan kemesraan baru yang diperlihatkannya.
“Rang, kamu tega melukis awan
mendung di mataku. Kamu membuat hujan tak akan berhenti. Kamu pembohong, Rang…”
Aku menangis tersendat-sendat. Rasanya aku ingin berteriak memanggil ombak
untuk membawaku pergi.
“Aaaaaa…” Jeritku histeris. Sorot
mata misterius menatapku tajam bak elang yang siap menerkam mangsanya. Aku
tidak peduli. Yang kuinginkan saat ini adalah meluapkan semua kekesalanku pada
cinta yang menggores luka.
Kenapa Tuhan memberi aku cinta yang
palsu? Tidak adakah lelaki yang mencintaiku seputih cintaku?
*
“Jingga, kamu harus tau itu. Nggak
semua lelaki yang menyukai hujan akan melukis tangis dalam hidupmu dan nggak
selamanya penggila senja sepertimu akan memberikan warna indah juga untuk
langit.”
“Terus menurutmu aku harus membuka
lagi perasaanku untuk orang yang sama. Membiarkan diriku disakiti dan terus
disakiti.” Suaraku sedikit meninggi. Ini kesekian kalinya aku berdebat panjang
dengan dirinya.
“Aku mencintaimu Jingga. Selamanya,
aku ingin kau menjadi milikku selalu, utuh. Tanpa ada tangan yang berani
mengusikmu…kecuali aku.”
“Maksudmu…” Aku menyadari setiap
kata demi kata yang diucapkannya. Apa aku harus mempercayainya? Kuakui ia
selalu menemaniku saat aku merasa bego dengan diriku sendiri. Ia akan hadir
jika aku sedang dipenjara oleh hujan.
“Aku sangat, sangat mencintaimu
Jingga. Kuharap kau akan menggores jinggamu setelah hujan bukan pelangi yang
diharapkan semua orang. Aku hanya ingin hujan menghiasi kebahagianmu, bukan
kesedihanmu,” ucapmu meninggalkanku dalam diam. Ada rasa sakit saat dia pergi.
Aku berharap dia akan menoleh dan berlari mendekapku. Tapi, dia terus saja
melangkah menjauhiku.
*
Sejak kejadian itu dia tidak pernah
lagi menampakkan batang hidungnya di hadapanku. Aku merasa bersalah karena
terus memojokkannya hanya karena masa laluku yang membuatku membenci hujan.
“Hujan, kemana dirimu? Aku
merindukanmu. Aku ingin kau di sampingku, mendekapku dalam dingin beku yang
merasuki, dan memberi warna setelahnya.”