Rabu, 27 Juni 2012

Rumah Terakhir

Rumah Terakhir

Sedih, airmata, dan penyesalan selalu datang ketika orang yang kita sayangi harus berpulang terlebih dahulu. Tak ada bedanya denganku. Bahkan aku tak mengenal sosok itu. Sosok yang seharusnya menemaniku berlari, bangun dari jatuh, dan berteriak lantang pada dunia.

Ya, sosok itu telah jauh pulang ke rumahNya saat aku masih suci. Belum pernah menyebut nama yang seharusnya kusebut "Ayah".

Kita pasti kembali pada rumahNya. Tapi tidak ada satupun yang tahu kapan itu tiba waktunya. Saat kita sedang tertawa bersama mereka. Atau saat kita sedang bernostalgia. Hanya amanat yang pernah diucapkannya yang membuat kita merasa terpukul dan sedih jika belum mewujudkannya.

Aku belajar dari wanita yang begitu tegar. Yang selalu senyum walau wajahnya melukis gurat kesedihan. Dia lebih merasa kehilangan sebagian nyawa dalam hidupnya. Airmatanya sudah terkuras habis, kata-katanya tersesat entah kemana, bahkan untuk sebuah jeritanpun sudah tidak ada lagi.

Aku tau yang kau rasakan teman. Merasa sangat kehilangan. Apalagi kesedihanmu tidak dapat kau luapkan dihadapannya karena jarak. Lantunkan doa padanya. Iringin kepergiannya dengan senyum bangga karena kau sudah mengenalnya. Aku percaya kau mampu berdiri pada hantaman ombak ini. Tersenyum, buatlah dia bangga padamu.


Sebatas Teman

Sebatas Teman 


"Maaf, Mas. Mungkin rasa yang Mas ucapkan hanya sesaat saja," ucapku bergetar.

"Itu menurutmu, Dik. Tapi aku yakin dengan perasaan ini. Aku tahu, kau pasti tak akan percaya setelah apa yang kuperbuat satu tahun silam."

Ya, kau sudah tau jawabannya. Aku takut untuk merasakan sakit dari orang yang sama. Takut untuk dikecewakan dan dicampakkan begitu saja.

"Dik..." panggilmu lirih.

"Ya, Mas."

"Beri aku kesempatan untuk menebus kesalahan itu. Aku menyadari kebodohanku telah membuang rasa yang tulus kau berikan padaku. Sekarang aku baru mengerti kalau dirimu cinta pertamaku," ujarmu memelas.

 Tuhan, tolong aku dari semua perasaan ini. Haruskah aku memberikan kesempatan ini padanya? Aku masih takut! Bahkan aku belum bisa mempercayai semua kata yang keluar dari bibirnya. 

"Maaf, Mas...." ucapku lebih lirih dari sebelumnya.

"Apa kau sudah memiliki penggantiku? Apa kau tega membiarkanku dalam sepi yang mengutukku?"

"Apa maksudmu Mas?" Kini kuberanikan untuk menjawab semua pertanyaanmu. "Kau bilang aku tega! Siapa yang lebih tega membiarkan aku terdampar pada luka?" Suaraku meninggi.

"Aku wanita, Mas. Perasaanku akan rentan bila ada luka yang siap menggores hatiku. Apa kau bisa merasakan apa yang kurasakan dulu? Apa kau masih ingat saat aku mengemis cinta padamu?" Lanjutku diiringi beningan kristal yang tidak dapat kutahan.

Kau hanya tertunduk merenung setiap layar memori yang hadir di kepalamu. Aku masih terus menangis. Apalagi yang bisa kuperbuat untuk semuayang telah terjadi.

"Baiklah, mungkin aku terlalu hina memasuki ruang sucimu lagi, Dik. Benar ucapanmu! Kemana aku saat kau sakit, terpuruk, dan kesepian olehku. Penyeselan. Itu kata yang pantas untukku. Aku lelaki tak bermalu!" Serumu seratya mengutuk diri sendiri.

"Tidak, Mas. Hanya waktu dan keadaan yang merubahmu. Sekarang kita hanya teman. Ya, teman biasa. Kuharap kau dapat menemukan jauh lebih baik dariku," ucapku datar menghapus lembut airmata yang telah jatuh.

Ya, kita hanya teman sekarang. Teman yang dulunya adalah sepasang kekasih. Dan aku harus terluka karena percaya akan kebohongan yang telah kau tulis dalam kertas skenariomu. Dulu kita bersama. Jauh sebelum kau meninggalkanku dengan banyak luka yang menyayatku.

"Izinkan aku menempatkan namamu di sini, hatiku," pintamu.

"Aku tak akan melarang. Tapi, jangan pernah jadikan aku racun pada hubunganmu esok, Mas. Karena aku ingin kita menjaga agar luka itu tak semakin lebar."

Kau mengangguk lemah. Seperti tidak rela jika hanya menyimpan namaku. Tapi apa mau dikata. Nasi telah menjadi bubur. Dan kau harus menelannya, walau mulutmu tidak menerima.









Selasa, 26 Juni 2012

FFku di Majalah Frasa "Jembatan Kenangan", 20 Juni 2012

Jembatan Kenangan

"Wow, amazing. Sungguh indah banget suasananya Ros."

"Yups! Kamu benar inilah daerah kelahiranku. Aku sudah sangat merindukannya."

"Aku punya ide brilian, Ros. Tapi..."

"Apa? Kenapa ragu mengatakannya. Come on."

"Hmmm. Aku ingin ini jadi tempat preweeding kita nanti. Aku ingin mengulas secuil keindahan ini untuk melengkapi kebahagian kita nanti."

Airmata mengucur di ujung kelopak mata indah Rosa. Hatinya berdecak kagum dengan pria yang ada dihadapannya. Sungguh ini di luar logikanya. Pria itu menyukai keindahan daerahnya.

"Kenapa menangis? Kau tak setujuhkan dengan usulku. Maaf..." ujarnya lirih.

Aku menubruk kepelukannya. Menumpahkan semua kebahagianyang baru saja dia dengar.

"Aku setuju, Mas. Sangat setuju," ujarku dalam isak tangis.

*

Ake menjerit histeris dan mengacak-acak rambutku. Perasaanku hancvur lebur. Mas Doni telah berpulang ke rumahNya terlebih dahulu. Janji yang sempat terlontar kala itu membuat aku despresi. Bagaimana tidak? Mas Doni, mengalami kecelakaan maut, hingga nyawanya tak tertolong lagi. Saat-saat yang seharusnya akan menjadi kebahagian kami. Jembatan itupun seakan menangisi kepedihanku. Ia telah menjadi saksi bisu saat Mas Doni melamarku.

Kini aku benar-benar gila. Setiap melintas jembatan itu. Aku selalu tertawa, menangis, dan kemudian menjerit histeris. Seakan bumi telah menelan tubuhku dalam-dalam.

Tanjung Balai, 4 Mei 2012

(Terbit di Majalah Frasa, 20 Juni 2012)



Ketika Aku Merindu


Ketika Aku Merindu

Rindu. Ya, hanya itu yang kurasakan saat ini. Rindu mendengarkan suaramu, nyanyianmu, petikan gitarmu, bahkan aku sangat merindukan matamu yang menatap tajam padaku. Perjalanan kisah kita yang dulu sempat terukir perlahan memudar oleh waktu. Kau tahu apa yang kulakukan saat merindukanmu. Aku hanya bisa menangis,menuliskan setiap kalimat rinduku. Mungkin ini cara konyol yang pernah kulakukan sebelumnya. Tapi aku bingung harus melakukan apa lagi untuk menahan rasa rindu ini.

MB, masih ingatkah kau saat kita bermain dibawah airmata langit. Itu suatu hal yang terindah yang akan tetap kuingat sampai kapan pun. Kala itu kita masih kecil, belum mengerti arti cinta yang sesungguhnya. Yang kita tahu hanya kebersamaan semata. Apa kau juga masih mengingat saat pertama kalinya kita adu mulut saat salah paham? Jujur, aku takut melihat matamu. Tidak ada kedamaian di sana. Aku diam saat kau benar-benar marah. Padahal aku tahu, ini bukan kehendakmu.

MB, kadang aku tersenyum simpul saat mengenang pertama kalinya kau mengungkapkan rasa itu padaku. Aku tercengang saat mendengarnya. Benarkah itu? Hatiku berkecamuk gelisah harus menjawab apa. Akhirnya kau nyanyikan aku sebuah lagu yang sangat kusuka pada waktu itu. So sweet, pujiku dalam hati. Aku luluh dengan nyanyianmu yang begitu menghayati setiap lirik lagu.

Pagi menghadirkanku sebuah airmata kesedihan. Mendengar kabar kau akan meninggalkanku dan kampung halamanmu. Apa yang tlah terjadi padamu? Mengapa begitu cepat kau mengakhiri cerita kita? Pertanyaan hadir mengusik ketenanganku berpikir. Tidak ada tanda-tanda saat kau pergi. Hanya sebuah surat biru yang kugenggam saat kita masih SMP. Ya, hanya itu kenangan nyata yang kupunya.

MB, empat tahun bukan waktu yang singkat buatku menahan semua untaian rindu. Entah mengapa setiap mendengar seseorang menyanyi diiringi oleh petikan gitar. AKu merasa kau hadir di dalamnya. Tersenyum dan menecup mesra keningku. Kuharap rindu ini nyata dan akan segera berakhir dipelukanmu. Aku merindukanmu dan akan tetap merindukanmu.

Minggu, 24 Juni 2012

Nada Kerinduan

Nada Kerinduan 

"Aku masih menunggumu di sini," ucapku lirih dengan butiran bening yang jatuh di sudut kelopak mataku.

Sajakku telah berhenti
Pada aksara yang lelah menemaniku
Hanya untaian kata yang terucap
Dari labiri hati 

"Tasi, kuharap kau cepat kembali dan kita akan sama-sama bercerita tentang rasa yang terabaikan," lanjutku.

Alam terlalu bosan mendengar ocehan rinduku ini. Tapi hanya ini yang dapat kulakukan. Semenjak kepergianmu beberapa tahun yang lalu, aku seperti mayat hidup yang berada di tengah-tengah keramaian. Ilalang hanya bergoyang jikalau beningan kristalku jatuh di atas mereka. Angin terus membawa semua rinduku hingga terurai entah kemana.

"Sudahlah, Nov. Jangan kau tangisin dia. Apa kau tak merasa kasihan melihatnya di sana. Dia pun tersiksa atas apa yang terjadi dengan diri kalian," ujar Ira memegang pundakku.

"Aku yakin dia pasti kembali, Ra. Kami akan memungut kembali serpihan rindu yang berserakan di luar sana," sahutku menatap matanya.

Ira hanya bisa menghela napas panjang mendengar penuturanku. Dia mungkin sudah menganggapku gila, bahkan lebih dari itu. Kadang yang tidak pernah kepikiran olehku apa yang terjadi dengan Tasi. Mengapa ia menghilang tanpa jejak dari kehidupanku. Apa aku melakukan kesalahan yang besar, hingga dia pergi? Batinku menjerit.

"Nov, sebaiknya kau istirahat dulu. Aku khawatir dengan keadaanmu. Jangan pernah menyiksa dirimu sendiri atas apa yang tak pernah kau perbuat."

Ira beranjak ke kamarnya. Meninggalkanku di koridor depan rumah. Aku masih enggan untuk bergeser dari tempat dudukku.

"Tasi, aku akan tetap menunggumu." Ucapku sambil membenamkan wajahku dalam celah kedua kakiku.

*
"Bagaimana kabarmu, Nov? Pasti kamu sekarang lebih dewasa dan cantik," tanyamu ketika itu lewat ponsel.

Pipiku merona, walaupun kau tidak akan tahu itu.

"Baik, Tas. Aku masih seperti dulu kok. Masih acak-acakan, dan nggak akan pernah berubah," jawabku tersipu.

"Aku nggak percaya itu. Aku yakin kau pasti berubah banyak. Nov, ada yang ingin kukatakan padamu. Dan ini serius," ucapmu dari sebrang sana dengan nada yang berbeda.

Aku gusar. Perasaanku kala itu aneh. Belum pernah sebelumnya kau berbicara dengan nada seperti itu. Dan aku yakini itu pasti hal yang serius.

"Nov..."

"Ya. Eh,,, mau ngomong apa tadi," ucapku gagap.

"Hmm."

Hening hanya ada helaan napasmu yang kudengar. Cukup lama.

"Aku mencintaimu, Nov. Sangat mencintaimu. Bahkan sejak kita masih SD dulu, aku sudah menaruh perasaan itu. Aku tau ini mungkin terlalu cepat. Tapi, aku benar-benar mencintaimu dan ingin memilikimu seutuhnya."

DEG!!!

Jantungku seperti telah berhenti berdetak. Ada rasa yang aneh mengalir di sekujur badanku. Aneh. ini pertama kalinya Tasi mengungkapkan perasaannya padaku. Selama ini kami seperti anjing dan kucing, tidak pernah akur. Tapi ini, ada apa dengan Tasi.

"Nov..." Panggilmu hati-hati.

"Maaf, Tas."

"Kenapa harus minta maaf, Nov. Seharusnya aku yang minta maaf karena sudah terlalu lancang untuk mencintaimu."

Kudengar ucapanmu kini dengan nada sedih. Aku tidak dapat melihatmu, tapi bisa merasakan suasana hatimu saat ini.

"Aku juga mencintaimu, Tas. Aku juga sudah lama memendam perasaan ini," jawabku akhirnya.

"Benarkah ini yang kudengar. Ini bukan mimpikan."

"Bukan!"

"Makasih, Nov. Aku bahagia sekarang. Walau jarak yang jauh sebagai penghalang kita. Aku yakin kita pasti bisa melewatinya. Sebagai rasa bahagiaku, izinkan aku menyanyikan lagu untukmu."

Tanpa menunggu jawaban dariku. Samar-samar kudengar petikan gitar yang selalu kau mainkan sejak dulu.


Kau begitu sempurna
Di mataku kau begitu indah
Kau membuat diriku
Akan selalu memujamu

Di setiap langkahku
Ku kan selalu memikirkan dirimu
Tak bisa ku bayangkan
Hidupku tanpa cintamu

Janganlah kau tinggalkan diriku
Takkan mampu menghadapi semua
Hanya bersamamu ku akan bisa

Kau adalah darahku
Kau adalah jantungku
Kau adalah hidupku
Lengkapi diriku

Oh sayangku kau begitu
Sempurna, sempurna
Kau genggam tanganku
Saat diriku lemah dan terjatuh
Kau bisikkan kata
Dan hapus semua sesalku

 Rasa terharu membuatku menangis tanpa sadar. Lagu Andra and The Backbone dengan lirik "Sempurna" membuatku terhanyut di dalamnya.

"Itu yang kusuka darimu. Suaramu, petikan gitarmu selalu menjadi nayawa dalam hidupku," ucapku dalam hati.

"Makasih Tasi buat semuanya. Lagu yang kau persembahkan untukku.Aku sangat menyukainya," pujiku.

"Iya, sayang. Aku janji akan terus menyanyikannya untukmu. Menemanimu dalam sepi dengan petikan gitarku. Aku selalu mencintaimu. I love you."

"I love you too."

*

"Nov, yuk ikut aku pantai. Mungkin bisa membuat hatimu lebih baik dari sekarang," ajak Ira.

Ira sepupu sekaligus teman curhatku. Dia lebih mengerti aku dengan perasaan rindu pada Tasi. Membiarkan bajunya basah dengan airmataku. 

"Aku lagi malas keluar, Ra," sahutku lesu.

Ira menghempaskan pantatnya di sampingku. Dengan lembut ia mengelus rambutku seperti menghadapi seorang anak kecil.

"Nov, jangan bohongi aku. Dengarkan aku ya, jika kau terus seperti ini yang ada kamu nggak bakal bisa ketemu Tasi. Kamu harus kuat dan tetap semangat. Nanti aku bakalan bantu kamu buat cari dia," bujuknya.

Dengan enggan kulangkahkan kaki menuju kamar mandi. Membersihkan kotoran yang menempel pada tubuhku dan membuat wajah lusuhku secerah langit pagi ini.

*

"Nov, gimana kamu sukakan dengan suasananya. Aku tau kamu bakalan suka. Soalnya siapa yang nggak tau seorang Novi yang maniak biru, suka pantai, dan rela menghabiskan waktunya berjam-jam hanya untuk memandang birunya laut," celetuk Ira menggodaku.

Aku hanya tersenyum simpul mendengarnya. Aku seharusnya tidak seperti ini, mengabaikan semua usaha Ira untuk membuatku tersenyum dan melupakan sejenak Tasi. Tidak, bukan melupakannya. Hanya membiarkannya sejenak beristirahat dalam pikiranku.

"Ra, bolehkan aku bermain dengan pantai," pintaku seolah-olah Ira adalah orangtuaku.

"Hahaha, kamu ini ada apa sih Nov. Ya sudah sana, ngapain pakai izin segala sih," gelaknya.

Perlahan kulangkahkan kaki telanjangku ke ujung bibir pantai. Menikmati jilatan ombak yang sangat antusias. Sesekali angin laut berhembus menerpa rambut dan menampar wajahku. Aku begitu bersahabat dengannya. Berkali-kali kufokuskan tatapanku pada laut, dan entah kenapa bayangan akan dirimu bermain di sana.

"Taaassiiiiiiii." Pekikku bersama hantaman ombak ke karang.

"Nov, kamu kenapa," tanyanya khawatir denganku.

"Aku benar-benar merindukannya, Ra. Aku nggak bisa melupakannya. Seberapa langkahpun aku menjauh, Tasi selalu hadir dalam bayangan. Ia tersenyum dan mengajakku ke suatu tempat. Aku kangen, Ra..." Ucapku dalam tangis.

"Nov, sabar. Jangan pernah seperti ini. Tasi nggak ada di sini."

"Ra, sampai kapan aku terus sabar seperti ini. Sampai kapan aku aku akan diam tanpa berusaha mencarinya. Aku mencintainya, Ra."

Pertanyaan demi pertanyaan kulontarkan padanya. Dia bungkam dan tidak bisa menjawab satupun pertanyaanku. Ya, itu hal konyol. Mana mungkin dia bisa mengerti semua perasaan yang kuhadapi, tanpa ia merasakannya.

Aku mundur beberapa langkah darinya. Menjauh dan berlari semampuku untuk tidak melihat wajahnya. Aku terlalu muak dengan kata-katanya yang tidak pernah mengerti tentangku.

*
"Nov, aku rasa hubungan kita nggak bersama lagi. Aku takut hubungan kita akan putus di tengah jalan," ucapnya suatu hari.

"Tasi, aku percaya nggak akan ada apa-apa dalam hubungan kita. Aku sayang kamu dan begitu juga sebaliknya. Jadi nggak ada yang perlu ditakutkan," jawabku datar.

"Nggak, Nov. Kita harus berpisah, jika kita berjodoh aku yakin takdir akan mempertemukan kita. Menyatukan kita kembali."

Aku tertunduk lesu. Harusnya saat ini kita tertawa ria. Kerinduan yang sudah menumpuk pada ruang hati bisa tercurahkan dengan suka cita. Tapi kenapa kau membawa berita buruk. Bahkan lebih buruk dari kematian.

"Maafkan aku, Nov. Aku yakin kau pasti bisa menghadapinya. Aku nggak mau kau kecewa denganku karena aku nggak bisa membahagiakanmu," lanjutmu kemudian.

*

Pernah ada rasa cinta antara kita
kini tinggal kenangan
ingin kulupakan semua tentang dirimu
namun tak lagi kan seperti dirimu
oh bintangku

jauh kau pergi meninggalkan diriku
disini aku merindukan dirimu
kini kucoba mencari penggantimu
namun tak lagi kan seperti dirimu
oh kekasih

jauh kau pergi meninggalkan diriku
disini aku merindukan dirimu
kini kucoba mencari penggantimu
namun tak lagi kan seperti dirimu
oh kekasih

pernah ada rasa cinta antara kita
kini tinggal kenangan
ingin kulupakan semua tentang dirimu
namun tak lagi kan seperti dirimu
oh bintangku

jauh kau pergi meninggalkan diriku
disini aku merindukan dirimu
kini kucoba mencari penggantimu
namun tak lagi kan seperti dirimu
oh kekasih

Kupetik gitar yang sudah lama tidak pernah kujamah. Semenjak kepergian dirimu aku membenci gitar. Malam ini rasa rinduku telah memuncak. Kupaksa jemari untuk memainkannya dan menyanyikan lirik lagu yang sama seperti perasaanku saat ini. 

"Tasi, kuharap lagu ini mampu menyampaikan semua rinduku yang membuatku sesak," lirihku.

Bintang menapaki dinding langit satu persatu ditambah dengan pancaran rembulan yang bersembunyi di belakang awan hitam. Airmata terus bergulir membasahi pipiku. Tanpa memperdulikan ejekan dari rombongan jangrik yang terus bersahut-sahutan mentertawakanku dalam kerinduan.

Malam ini mengajarkanku tentang sepi yang tidak bertuan. Rindu yang terdampar pada alamat yang salah. Apakah aku harus melupakan dia? Melupakan suaranya dan petikan gitar yang selalu menemaninya jikala aku sedih. Memberikanku cawan madu yang disuguhkannya dengan cinta. 

*
"Nov, ada undangan untukmu. Dan aku harap kamu bisa tahan emosinu," tutur Ira.

Aku melonggo dalam kebingungan mendengar ucapannya.Tanganku gemetar saat menerima sebuah kertas biru yang diikat pita dari Ira. 

Lututku serasa lemas, jantungku berdetak tidak beraturan. Rasanya aku ingin mengeluarkan semua isi hatiku sekarang. Kulihat nama yang tertera pada undangan biru itu. Pernikahan Mangatasi Bagariang dengan sahabat SDku dulu, Tya Agum Gumelar. Kucoba menahan butiran hangat yang sudah memaksa untuk keluar. Dan, akhirnya aku tidak sanggup menahannya.

"Ini nggak mungkin. Sejak kapan Tasi menyukai Tya, ini pasti salah. Ini pasti salah," pekikku histeris.

"Nov, aku tadinya nggak percaya. Tapi inilah kenyataannya. Ada secarik surat didalamnya. Kamu harus baca, mungkin ada penjelasan dari Tasi akan hal ini." Ira menenangkanku.

Buru-buru kubuka surat yang ada di dalam. Tanganku gemetar bersama airmata yang menemaniku.

Dear, Novitaku
Jakarta, Maret 2011

Aku harap keadaanmu sama seperti dulu. Selalu ceria, tertawa, dan tersenyum walau luka menggores hatimu. Maafkan aku, Nov. Sejak aku meninggalkanmu hidupku berantakan, aku benar-benar kehilanganmu. Dan kamu tahu, orangtuaku menjodohkan aku dengan Tya teman kita dulu. Keluargaku sudah banyak berhutang budi dengan keluarga Tya, Mau nggak mau aku harus menerimanya.

Nov, aku tau kau pasti kecewa dengan diriku. Kau pantas mengumpat bahkan menghujatku, jika itu membuatmu lega. Nov, aku menunggumu di sini. Aku ingin melihat wajahmu terakhir kalinya. Kuharap kau datang.

Kau adalah darahku
Kau adalah jantungku
Kau adalah hidupku
Lengkapi diriku


Sebait lagu yang pernah kunyanyikan untukmu pertama kalinya. Aku akan selalu mencintaimu walau tak seperti dulu. Namamu masih ada di sini, hatiku. I love you.

Orang yang mencintaimu
Tasi

"Kau penipu, Tas. Kau hancurkan perasaanku. Kau bajingan!" Jeritku memuncak.

Kuremas surat yang baru saja kubaca. Kulempar hingga aku benar-benar merasa terpukul. Harapanku untuk menebus semua kerinduan ini telah hancur tidak berbalas. Tasi benar-benar sudah melupakan cinta yang pernah diucapkannya. Aku terlalu bodoh menunggu lelaki yang tidak pantas untuk kutunggu.

*

Ira menatap iba padaku. Setiap mendengar semua lagu tentang rindu, aku selalu menjerit histeris ketakutan. Lari ke sudut, mendekap kakiku rapat-rapat, dan seperti orang linglung. Sejak peristiwa itu, aku sudah dinyatakan gila oleh pihak rumah sakit yang merawatku. Hanya Ira yang masih setia menjagaku. Walau terkadang ia menjadi objek utamaku untuk melampiaskan sesuatu yang kadang datang menghantuiku.

Menangis aku kenang
Saat hatiku kau tinggalkan
Hanya sakit yang aku pendam
Dalam rindu yang semakin dalam
Tak tahu harus dimana ku temukan jawabnya

Kau pujaanku dimana
Ku sakit harus menunggu lama
Merana hati merana
Dalam rindu aku bertanya


Kekasih kau yang ku kenang
Jatuhkanku dalam lingkaran
Walau sakit yang aku pendam
Rindu ini tak kunjung padam
Tak tahu harus dimana ku temukan ooh


Kau pujaanku dimana
Ku sakit harus menunggu lama
Merana hati merana
Dalam rindu aku bertanya


Kau pujaanku dimana
Ku sakit harus menunggu lama
Merana hati merana
Dalam rindu aku bertanya


Merana hati merana
Dalam rindu aku bertanya
Sampai nanti selalu bertanya


Tanjung Balai, 25 Juni 2012
09.11






Jumat, 22 Juni 2012

Jumat CENDOL, 22 Juli 2012 "Menulis Surefalis"




Jum'at kemaren seharusnya aku ikutan jam pelajaran yang ada di Kelas Cendol. Tapi jujur aku nggak ngerti. Apa karena pelajarannya begitu berat (menurutku) ya? Entahlah, untungnya setelah izin copas. Aku bisa belajar melalui komen dan jawaban dari Sukernya. Semoga ini membantuku untuk bisa belajar.

JUMAT CENDOL 22 JULI 2012: MENULIS SUREALIS
MENULIS SUREALIS
Agus Linduaji

Wanita itu melahirkan burung gagak, seorang pengemis terus berdiri di pinggir jalan sampai menjadi patung, gadis kecil itu berubah menjadi kupu-kupu. Dan cerita-cerita liar lainnya yang tentunya membuat para pembaca merasa bahwa cerita tersebut tidak masuk akal.

Inilah surealis, sebuah gerakan (termasuk dalam sastra) yang pada awalnya lahir dari dunia mimipi dan alam bawah sadar. Maka tak heran karya surealis selalu menghadirkan cerita-cerita yang aneh, ganjil dan irasional.
Pada perkembangannya kini karya surealis tidak sekedar ruang interpretasi mimpi semata, namun sudah menjadi ruang bagi penulis untuk mengkritisi apa yang memang patut untuk dikritisi. Surealis yang dulu menghadirkan mimpi apa adanya, dan mengalir spontan tanpa aturan, kini hadir dengan makna baru, karena dianggap sebagai bentuk gugatan, ejekan atau protes terhadap realitas yang kadang terasa tidak masuk akal. Surealis menjadi bentuk pembrontakan terhadap kenyataan hidup yang penuh kepalsuan hingga titik paling nista.


Pada cerpen saya yang berjudul Mata  (antologi Suker), saya mencoba mencemooh sebuah intansi yang melakukan jamaah korupsi dengan mengadirkan tokoh-tokohnya selruh matanya berubah menjadi putih karena perbuatannya.
Sering kita melihat peristiwa yang menyayat hati, kisah yang memilukan dan kenyataan yang tragis: Di bawah himpitan ekonomi sang ibu membuang bayi, ayah menjual anak gadisnya, mutilasi demi seratus ribu rupiah sementara para pejabat berpesta pora.
Mungkin ini yang mau dikatakan surealis sekarang, bahwa realita terkadang yang justru lebih tidak masuk akal.
Mari kita belajar berjamaah! Tidak sekedar mengenai menulis fiksi, tapi juga bagaimana kita menyampaikan sikap dan pandangan di dalam karya sastra.

Salam,
Dab Lindu

* Surealisme, adalah sebuah aliran seni dan kesusastraan yang menjelajahi dan merayakan alam mimpi dan pikiran bawah sadar melalui penciptaan karya visual, puisi, dan film. Surealisme diluncurkan secara resmi di Paris, Perancis, pada tahun 1924, ketika penulis Perancis Andre Breton menulis manifesto pertama surealisme, mengguratkan ambisi-ambisi akan kelahiran gerakan baru. (Breton menuliskan dua lagi manifesto surealis, pada tahun 1930 dan 1942). Gerakan tersebut segera menyebar ke wilayah lain di Eropa, juga ke wilayah Amerika Utara dan Selatan. Di antara kontribusi-kontribusi yang paling penting dari gerakan surealis adalah penemuan teknik artistik baru yang terhubung ke alam pikiran bawah sadar seniman.

 Agus Linduaji Tulisan di atas adalah dari sudut pandang penulis, jadi sangatlah sempit dan sangat mungkin salah , mari kita diskusikan bersama

 Paulus Nugroho TANYA : jika dalam dunia seni lukis dari antara sekian jenis aliran ada aliran Surealis yang juga hampir mendekati aliran Abstrak,
apakah di dalam kepenulisan juga ada tulisan yang beraliran Abstrak?

dalam artian, adakah jenis tulisan yang lebih membutuhkan pemahaman yang lebih daripada pemahaman pada jenis tulisan Surealis?

*pertanyaan ini mungkin terasa agak ngawur dan banyolan (lawakan, komedi), namun sungguh bahwa saya ingin bertanya seperti ini dengan maksud serius, terima kasih :)


 Bintang Kirana TANYA :

Jadi ... bolehkah menelorkan karya yang sulit dipahami pembaca, Om Suker Agus Linduaji ?


 Agus Linduaji Bintang Kirana Sah-sah saja menulis yang susah dipahami pembaca, tapi bukankah menulis itu untuk dinikmati pembaca , Surealis mungkin terasa aneh bagi pembaca, namun harus bisa dimengerti arah tulisan itu

 Agus Linduaji Surealis awalnya lahir dari mimpi dan Fantasy lahir dari kayalan seseorang , bedakan sendiri.

 Suhe Herman Surealis awalnya lahir dari mimpi dan Fantasy lahir dari kayalan seseorang , bedakan sendiri

Kalo dianalogikan, Surealis itu sendawa dan fantasy itu tawa. Maksud saya, surealis itu lebih apa adanya dan jujur, tapi kalo fantasy lebih mikir dan diada-adakan. Apa analogi saya bener, Om?

*sangat suka materi ini karena saya adalah batu


 Ayya Perempuan Fikri ‎*
beberapa waktu lalu sempat berbincang tentang surealisme dengan penulis puisi surealis,
rasanya memang lebih mudah memahami surealisme dalam karya lukis, contoh cerita yang diberikan pada saya kisah "Tom and Jerry"
mereka terlindas mobil tapi tidak terluka atau mati.
jika cerita itu dialihkan kedalam bahasa, apakah cara berceritanya juga sama?


 Agus Linduaji Ayya Perempuan Fikri benar lebih mudah menvisualkan dari pada menulis

 Agus Linduaji Aku udah manasin mobil siap pergi akulurusin masalah mimpi dulu. Terkadang kita mimpi sangat jelas, nyata tetapi kadang kita mimpi terasa aneh, seperti misal aku mimpi membunuh seseorang dengan pedang yang terbuat dari selembar koran, aneh mimpiku, jadi tidak semua mimpi mendasari Suealis, pamit nanti nalan kita lanjutin ok teman

 Paulus Nugroho KOMEN : Titis Nariyah aku memang baru sedikit baca karya Djenar, tapi menurutku sepertinya Djenar memang mengarah ke aliran Surealis, banyak yang kurang bisa dipahami jika hanya membaca dengan 'sekedar membaca' karya-karya Djenar :)

*keinget pusingnya baca buku kumcer Djenar yang kalau tidak salah berjudul 'hati-hati dengan kelaminmu', pinjam dari S-Rio Zendi :D


 Paulus Nugroho

KOMEN :

"Surealis awalnya lahir dari mimpi dan Fantasy lahir dari khayalan seseorang" Agus Linduaji

tanpa maksud ingin menggurui,
menurut pemahaman saya adalah begini,
dalam mimpi kita masih bisa mengesampingkan logika bahkan mencampuradukan logika,
namun dalam khayalan kita masih harus menimbang ide kita dengan logika.
walaupun dalam perwujudan keduanya (surealis dan fantasi) tetaplah tidak boleh mengesampingkan unsur-unsur logis, dalam artian kita harus tetap menjaga agar karya kita tetaplah harus bisa dimengerti si penikmat karya kita, walaupun itu akan sedikit sulit bagi mereka :)

*singakatnya begini, jika tidak sulit dipahami, maka itu bukanlah 'surealis' :D

*pendapat ini saya buat dari sisi kacamata seni lukis yang sempat saya jalani beberapa tahun lalu :) agak susah jika dituliskan lewat kata-kata namun semoga bisa membantu Bunda Arniyati Shaleh, Mbak Widi Astuti, dan segenap Cendolers lainnya :)

 Pringadi Abdi Surya
Orang kadang mencampuradukkan surealis dengan fantasi. Berbeda. Surealis dibangun dari bawah sadar. Dan bawah sadar bisa jadi dibangun dari kealpaan kesadaran dan atau terbatasnya kesadaran itu sendiri.

Pernyataan pertama yang diamini adalah tentang materialisme, bahwa sifat api=panas itu karena pengalaman indrawi. Bahwa tikus tidak bisa berbicara juga indrawi. Hal-hal yang di luar indra adalah mungkin. Sehingga surealis bukan berarti tidak realis. Surealis adalah kesadaran antara: abu-abu. Ia dibangun juga dengan logika yang kuat. Sehingga pertanyaan mengapa, epistemologisnya, ada.

Pernyataan kedua, menulis surealis dalam hemat saya, harus memenuhi dua syarat: pengetahuan dan imajinasi.

itu saja kali ya :D
 Dela BungaVenus pengetahuan dan imajinasi. bener!^^
sulit membuat cerita surealis. perlu sudut pandang yang ga biasa. out of the box. perlu cerdas dulu....^^
 Tri Lego Indah Full ‎|
Yang ini mas Agus Linduaji
Tri Lego Indah Full |
Mas Agus Linduaji, di cerita MATA yang mas Agus tulis masih bisa ditangkap maksudnya bagi pembacanya, tapi kalau yang cerpennya mas Agus Noor yang judulnya Ibuku Anjing itu, harus baca berkali-kali. Lemah dengan simbol-simbol >,<, Oya, apakah memang kebanyakan tulisan surealis ditulis dengan bahasa terkesan liar gitukah mas? (baca ulang Ibuku Anjing)
8 hours ago · LikeUnlike · 1
 Agus Linduaji Aku baca sekali sudah bisa menangkap , mungkin aku sudah cukup lama bergaul sama penulisnya , jadi ibarat dia menendang bola udah tau arahnya, memang kebanyakan terkesan liar jadi artinya tidak semua kan

 Pringadi Abdi Surya
Buat mbak Tri Lego, saya coba mendefinisikan liar itu. Kesadaran seringkali membatasi diri kita pada suatu definisi, pada suatu wilayah, dan wilayah itu didobrak oleh surealisme. Bahasa yang keluar, adalah bahasa apa adanya, bahasa lugas, bahasa-bahasa yang kadang tak mampu diucapkan kesadaran.

Ada juga penulis surealisme yang mencapai tingkatan "menciptakan represi sekaligus supresi". Dingin tapi sebenarnya penuh muatan emosi, tapi tidak ada kata-kata yang eksplosif. Di dalam realisme, boleh nama hanna fransisca jadi referensi untuk tingkatan ini.


Komentar Pembaca "When I Miss You"

 Komentar Para Pembaca When...I Miss You

 

Ini adalah para pembaca dari buku When...I Miss You. Bagaimana mereka mengapresiasikan setiap cerita yang mereka nikmati. Simak dan pahami.

Dan jangan lupa buat teman-teman juga memiliki buku ini. Nggak bakal rugi deh ^_^

Buku yang berjudul When I Miss U ini telah mampir sejak hari selasa minggu ini. Karena saya 'tepar' waktu itu, jadi baru malam ini bisa mengunggahnya.
Memaparkan beragam cerpen, puisi, dan kata mutiara yang bertemakan rindu.

Diawali dengan beberapa cerpen yang mengunggah, salah satunya yang ku kenal ialah karya Endang Ssn. Lagi-lagi wanita senja ini menyihir pembaca dengan kata-kata rindunya. Cerpen-cerpen lainnya pun seperti pukulan yang menghentak, tapi berasal dari alat yang berbeda. Sehingga, menghasilkan irama rindu berbeda pula. Namun, tetap harmoni.

Beberapa puisinya pun, tak bisa dilewatkan begitu saja. Sebab, banyak sekali nama-nama yang sudah nampang di beberapa media. Tentu, tak usah diragukan lagi hasil karya mereka.

Hingga yang terakhir ialah kata-kata mutiara hasil sendiri dari beberapa penulis. Ini membawa khasanah tersendiri. Semacam buah dari perenungan tentang rasa 'rindu' itu sendiri.

Tak usah banyak paparan lagi, sebaiknya segera pesan melalui Kamal Agusta sekarang juga. (Ben Santoso)



 Kontributor & Buku When ... I Miss You

"Ketika hati terasa meredam rasa, sesuatu yang menghentak-hentak kalbu dan rasa sunyi yang tiba-tiba membekukan hati. Kuyakin ada sebentuk hati yang tengah sama merasakan. Rasa rindu ini kuyakin akan menguatkan kita untuk tetap menjaga janji suci saat kesetiaan teruji. Kularutkan rasa rindu ini dalam doa-doa malam panjangku ketika kuhanya bisa berbisik dengan-Nya."

Nenny Makmun



" Ceritanya benar-benar bikin rindu. Adanya beberapa halaman yang berisi puisi dan kata mutiara itu ngebantu aku belajar atau sekedar tahu bagaimana menyusun kata-kata yang baik. Sayangnya, buku kurang tebal, jadi bacanya harus pelan-pelan agar rasa 'miss-nya' nggak cepat habis."

Anto Mertabesari, Karyawan.












Sebuah rindu yang di kemas dengan apik.. menarik dan menimbulkan rasa rindu untuk membaca karya-karya kalian lagi.. 

Febri Wulandari















 Giliran siapa nanti yang fhotonya akan nampang diblog ini. Buruan miliki bukunya dan tulis ceritanya. Masih ditunggu ^_^ Hihihihih

Kamis, 21 Juni 2012

Cerpen, "Mimpi Gadis Pemulung" di Koran Portibi

Udah lama banget pengen cerpenku suatu saat dimuat di sebuah media. Baik itu media lokal ataupun media lainnya. Sempat pesimis dengan keinginan itu, karena Ibu melarangku untuk tidak menulis lagi. tapi aku sangat ingin menulis dan menulis.

Aku nangis dan sms Bunda Chie. Beliau menenangkanku dengan kata-kata bijaknya. Akhirnya tanpa kusadari atau direncanakan, aku menulis semua kegelisahanku melalui handphone. Dan akhirnya ide muncul dibenakku. Aku ingin menulis cerita ini dan mengirimnya ke media.

Akhirnya, usahaku tidak sia-sia. Kak Chaerul membantuku utnuk selalu optimis mengirim naskah cerpen itu. Cerpen pertamaku sekaligus targetku bulan ini tercapai. Cerpen dengan lokalitas daerahku dimuat dalam Koran Potribi edisi Kamis, 14 Juni 2012.

Mimpi Gadis Pemulung
By: Ayu Marpaung





            “Aku ondak manulis, Mak!” jeritku histeris.

            Saat tamparan dan pukulan kayu rotan itu menghujamku bertubi-tubi. Wanita yang melahirkan aku dan kupanggil ia dengan sebutan omak itu, semakin terlihat geram mendengar jeritanku.

            “Apo untungnyo kau jadi panulis. Tak ado kan? Manghabiskan waktu sajo karojo kau,” hujat Omak.
            Mata omak menatap tajam wajahku seperti harimau yang siap menerkam mangsa.
            “Awas, kolo nampak omak kau manulis lagi. Kubakar samuo buku kau!,” ancam Omak sebelum meninggalkanku dalam perih luka yang baru saja mendarat di tubuhku.

***

            Aku memeluk kaki dan membenamkan wajah kusamku dalam-dalam di sela kedua lutut. Tubuhku masih membekas memar rotan yang dilayangkan omak. Kulirik tumpukan buku yang berserakan. Andai saja Ayah masih ada di tengah-tengah keluarga ini. Pasti omak, aku dan abang tidak akan merasakan penderitaan yang seperti ini. Omak selalu berlaku kasar padaku. Impianku harus tersimpan manis dalam file yang jauh dalam hati. Padahal aku telah berjanji pada Ayah akan menjadi penulis yang hebat. Menulis dengan goresan pena untuk semua kisah yang mewakili asa yang hadir sejenak dalam hidup. Sekedar membuktikan kepada dunia, bahwa aku bisa!.

            “Maafkan anakmu, Ayah! Aku tak mampu mewujudkan impian itu,” batinku.

            Aku beranjak dari sudut ruangan itu. Berjalan menuju bibir jendela yang masih terbuka. Perlahan kusandarkan punggung di dinding. Aku meringgis menahan perih. Kudongakkan wajahku keluar. Menatap lekat-lekat langit hitam. Tak ada sinar yang berkelap-kelip.

            “Tumben, tak ado bintang!” gumamku lirih.

            Angin malam berhembus lembut serasa menampar wajahku. Tiba-tiba cahaya kilat menyapa bumi. Aku tersentak. Mungkin akan turun hujan. Bersamaan dengan itu kudengar teriakan Omak dari luar.

            “Ongaaaaaaah, apo lagi tak tidur kau! Janganlah kau buat Omak mati badiri jadinyo. Ombal nang mangurusi kau sajo aku, lamo-lamo naek darah tinggiku kau buek.”

Aku menghela napas panjang. Bergegas turun dan menutup jendela. Bersama rinai hujan yang turun membasahi bumi., kurebahkan badan setelah seharian bekerja mengais tong-tong sampah atau tumpukan sampah di sekitaran jalan Sudirman.

***

            “Kanapo kau manangis, sayang?” ucapnya lembut sembari mengelus rambutku. Aku menoleh dan terperanjat.
            “Ayaaaaah…!” Jeritku sambil mendekapnya. “Dari kapan ayah ado si sini?,” tanyaku penuh kebingungan.
            “Ayah malihat kau manangis.  Ado apo? Caritokanlah samo Ayah, siapo nang membuek anak ayah ni manangis.”

            Aku hanya tersenyum getir dalam dekap pelukannya. Butiran hangat itu menggelinding di pipi mungilku tanpa dapat kutahan lagi.

            “Bah, mangapo pulak batambah manangis, sayang? Ayah tak ado manyuruh kau manangis. Sojak kapan pulak anak ayah ni manjadi cengeng bagini.”

            Aku memeluknya lagi semakin erat. Aku tak ingin membuat Ayah sedih. cukup aku, Tuhan dan dinding-dinding bisu yang tahu penderitaanku.

            “Tak ado masalah, Ayah. Awak hanyo rindu samo ayah,” terangku berdusta.
Ayah seakan tahu perasaanku. Dia tersenyum lembut, dengan nurani seorang Ayah dia menatap mataku jauh. Seakan ingin mnghipnotis diriku.

            “Jangan kau mambongak  samo Ayah, Ongah!” seru Ayah mencium nada kebohongan pada rangkaian kataku.
Aku hanya diam. Tak sepatah katapun yang terucap dari bibirku. Kulepaskan pelukannya dan menarik napas panjang.
            “Omak malarang awak manulis, Ayah!” ucapku akhirnya.

            Dengan sesenggukan kuceritakan perihal tentang Omak. Ayah tersenyum mendengar semua ceritaku.

            “Totaplah kau manulis! Jangan pornah baronti manulis walau apo pun nang tajadi. Kau tak boleh lomah dan cengeng, anakku! Dunio ni akan tagolak malihat kau bagini. Harapan Ayah hanya kau. Si Alang tak bisa diharapkan lagi. Ukir masa depanmu dengan senyuman bukan tangisan.”

            “Ayyyaaahhhh…” Tangisku memecah kesunyian. Ayah benar aku tidak boleh lemah. Aku harus semangat menjalani lika-liku kehidupan yang fana ini.

***

            “Ongaaaah, Oooi, Ongaaaaah! Apo lagi tak bangun kau. Hari sudah siang. Copat kau karojo. Diambek orang bagian kau nanti,” teriak Omak dari dapur.

            Aku tersentak kaget mendengar teriakan Omak. Hujan membuatku terlelap tidur. Dengan mata yang masih terkantuk-kantuk, kucoba bangun dari kasur kusam milikku meski jalanku masih sedikit sempoyongan. Maklum, tenagaku belum terkumpul semuanya.

“Ruponyo cumo mimpi aku bajumpo samo ayah tu,” gumamku setelah menyadari apa yang terjadi.

Tanpa menunggu komando lagi. Aku bergegas membereskan kasur dan langsung menuju kamar mandi. Dalam waktu sekejap kukenakan pakaian kerja. Pakaian yang sudah usang dan bau. Keranjang yang akan kupikul sudah menunggu dengan setia.

“Sarapan kau dulu. Ingat yo, jangan sampai tak banyak kau dapat. Jangan asyik manulis sajo karojo kau di sana,” peringatan yang lebih tepat kusebut ancaman itu mulai terdengar lagi.

Aku hanya bisa diam sambil menyantap nasi putih berlauk tempe goreng dan ikan asin itu. Yah, Lebih baik diam dari pada harus dijawab. Selesai makan kubereskan piring-piring dan meletakkan semuanya kembali pada tempatnya.

***

            Pagi menyapaku dengan senyuman hangat. Membuat tetes demi tetes peluh mulai bercucuran jatuh di dahiku. Berjalan dari satu rumah ke rumah yang lain. Mengacak-acak sampah, berharap menemukan barang bekas yang masih bisa dijual lagi. Sejak Ayah meninggal dua tahun yang lalu, kehidupan kami berantakan. Aku harus berhenti sekolah dan menjadi pemulung untuk membantu Omak mendapatkan penghasilan tambahan dari jualan gorengannya.

            Aku tak pernah mengenal siang atau malam. Aku sudah mulai terbisa seperti ini sejak 6 bulan lalu. Abangku hanya bermalas-malasan. Tapi Omak tak pernah sedikitpun memarahinya.

            “Hei, jangan berdiri di situ. Mau mencuri ya!” Hardik empunya rumah saat aku serius mengaduk-aduk tong sampah.

            Aku bengong mendengar kata “mencuri”. Sungguh memalukan. Walaupun aku seorang pemulung tak pernah sedikitpun berniat untuk mencuri. Buru-buru aku berlalu dari rumah mewah itu. Melanjutkan kembali aktifitasku mengais sampah dari lorong ke lorong.

            Matahari semakin tinggi. Kerongkonganku mulai demo, cacing dalam perut pun mulai protes meminta sedikit makanan. Tadi pagi, sarapan itu tak habis kulahap. Karena Omak yang menyuruhku untuk cepat bekerja. Mataku mulai mencari warung untuk membeli sedikit makanan. Untungnya di celanaku ada uang tiga ribu.

            Belum sempat aku mengutarakan maksud. Pemilik warung keluar dan menyambutku dengan bentakan.
            “Hei, pogi sana! Jauh-jauh kau dari warungku. Jangan kau kotori dengan bau badanmu. Nanti pamboliku kabur samuo.”

            Akupun diam tertunduk dan berlalu dari tempat itu sambil memegangi perutku yang keroncongan. Mungkin mereka terlalu jijik melihatku. Tapi, apakah aku sama seperti sampah yang selalu kupunguti? Apa pemulung pekerjaan hina? Entahlah, hidup memang terkadang seperti sinetron. Yang dapat berakhir akan kebahagiaan dan dapat pula berakhir dengan penderitaan. Bagaimana dengan diriku? Apa aku juga akan bahagia?

***

            Langkahku terhenti saat melihat mobil mewah parkir di halaman rumah. Aku mengerutkan kening. Berpikir sejenak untuk mengenali mobil itu.

            “Itu kan motor sedan Pak Tohir. Ondak mangapoin dio ka sini?” ujarku penuh tanda tanya.
            Setelah mobil itu pergi dari rumah. Aku melanjutkan langkahku untuk menanyai perihal ini pada Omak.
            “Mak, ngapoin Pak Tohir samo bodyguardnyo kamari? Ado urusan apo?”
            “Tak ado apo-apo. Besok kau tak usah lagi mamulung. Karono Pak Tohir akan mamparsunting kau jadi bini ka ompatnyo.”
            “Apooooo? Bararti omak manjual aku la yo?. Mak, kan sudah Ongah bilang samo Omak, ongah tu ondak jadi panulis. Omak tega kali lihat ongah jadi madunyo Pak Tohir. Omak tak kasihan samo aku ruponyo?,” ucapku dengan suara tinggi.

Plaaakkkk!
 Tamparan itu kembali berhasil mendarat mulus di pipiku. Dalam seminggu ini, entah berapa kali tamparan omak sudah bersarang manis di pipiku.

            “Udah omak bilang jangan manulis. Nang gingging kau dibilangin. Tak ado hasilnyo kolo kau manulis itu. Manikah kau samo pak Tohir tu, kito samuo biso kayo. Ingat kau itu, Ongah!”
            Aku menggigit bibir dalam-dalam. Ucapan omak menusuk ulu hati. Sakit. Bagaimana bisa omak menerima lamaran lelaki brengsek itu?

Tanjung Balai, 4 Juni 2012

Footnote :
Ondak : hendak, ingin.
Ombal : selalu, harus, sering.
Nang : yang
Awak : saya, aku ( dalam dialek bahasa melayu asahan, penyebutan kata “aku” kadang tercampur akan dialek bahasa minangkabau)
Mambongak : bongak atau bohong. Mambongak atau berbohong.
Buek : buat
Ginggingan ; gingging : bandel
Baronti : berhenti
Tagolak : tertawa, gelak.
Diambek : diambil
Pogi : pergi
Pamboli : pembeli
Motor : mobil ( terpengaruh dari dialek melayu Malaysia)
Mangapoin : Ngapain
Ka ompatnyo : Ke empatnya ( dialek bahasa melayu asahan sangat terpengaruh dengan dialek bahasa minangkabau yang selalu bervokal “O”)

Puisiku di Medan Bisnis, 16 Juni 2012
























Assalamualaikum, sahabat blogger. Kembali coretan jemariku terukir di media lokal. Puisi dengan "Pengemis Berdasi" terbit di Koran Batak Pos edisi 16 Juni 2012.


Pengemis Berdasi
Oleh: Ayu Ira Kurnia Marpaung

Terlihat gagah dengan seragammu
Kekar badanmu dan kokoh
tapi sayang kau tak ubahnya bagai pengemis
jalanan
senyum hangatmu menadahkan tangan
meminta sedikit rezeki dari kami
kadang kau keluarkan secarik kertas
tanda permohonan yang sering kau sebut "Surat Tilang"

Tanjung Balai, 10 Juni 2012

Rabu, 06 Juni 2012

Puisiku di Batak Pos, 19 Mei 2012


ALhamdulillah, kembali pada-Mu ya Allah. Puisi ketigaku bersama sahabat-sahabat cendol kembali di muat di Koran Batak Pos edisi sabtu 19 Mei 2012.

Marah
Oleh: Ayu Ira Kurnia Marpaung

Bumi menghentak geram
Langit menangis meronta-ronta
Rinai perlahan berubah badai
Laut berlari mengejar ombak
Biru tertutup kabut hitam
Gelap hingga tak tampak

Alam marah
Alam murka
Dengan ganasnya ia kobarkan si jago merah
Ia titahkan gunung mengeluarkan laharnya
Ia cambuk tanah untuk turun merobahkan pepohonan

Renungkanlah…
Alam tak lagi bersahabat
Ia benar-benar meninggalkan kita
Resapilah…
Teguran dan sapaan alam yang mengetuk pintu hati
Dengan lembut
Ia bukan sahabat kita kala amukannya meluap-luap

Tanjung Balai, 12 Mei 2012

Antologi, Indonesia dalam Naungan DOA Kami"

Assalamualaikum, sahabat blog. Gimana keadaan hari ini. Pasti sehat semua kan. Oh, ya jemariku kembali menuangkan coretannya dalam sajak-sajak puisi. Buku ini sengaja diterbitkan untuk menuangkan sejuta harapan kami untuk Indonesia. Indonesia yang semakin jauh dari kata "merdeka".

Semoga buku ini dapat membuat Indonesia bangkit dengan harapan yang ada didalamnya.





TELAH TERBIT !!! BUKU "100 PUISI UNTUK INDONESIA"

JUDUL: INDONESIA DALAM NAUNGAN DOA KAMI
(100 Puisi untuk Indonesia)
PENULIS: Manusia Perahu, Endah Wahyuni, Nimas Kinanthi, dkk
PENEBIT: Pustaka Nusantara (Imprint Penerbit Oase Qalbu)
TEBAL BUKU: 184 hlm

HARGA: Rp 45.000,-
(Diskon 15% untuk kontributor, belum termasuk ongkos kirim)

CARA PEMESANAN:
1. Pesan via SMS ke 08562729500 dengan format: Nama, Alamat Lengkap, Judul Buku yang dipesan, dan Jumlah pembelian. Lalu kami akan mengkonfirmasi ongkos kirim ke alamat kamu.

2. Setelah itu, kamu bisa transfer uang pembelian + Ongkos kirim ke no rekening berikut ini (pilih salah satu):

*BRI a/n Laela Nurisysyafa'ah No. 5993-01-010747-53-9 (Unit Godong)
*BCA a/n Badiatul Muchlisin Asti No. 0810336862 (KCP Purwodadi)


Antologi, "When I Miss You"

Assalamualaikum, sahabat blog. Hihihihi, lama nggak menulis diblog ini. Aku ingin menuangkan semua coretan impianku di sini. Semoga kalian berkenan dan ingin memilikinya.

Setiap orang pasti memiliki rindu yang ingin disampaikan pada pemiliknya. Tapi kadang kita tak mampu untuk mengantarkannya. Tapi, dengan buku ini sahabat blog setia bisa mengobati rasa rindu itu. Miliki segera ya ^_^




JUDUL : When... I Miss You

ISBN : 978-602-20209-4-3

Harga: Rp. 30.000,- (Belum termasuk Ongkos Kirim)

Penulis :

| Eva Sri Rahayu | Endang SSn |
| Ika Endaryani | Ceng Ahmar Syamsi | Kamal Agusta | Zya Verani |
|Ragil Kuning| Endah Wahyuni | Akarui Cha | Chie Chera | Dian A. Yuan |
|Vivie Hardika | Bayu Rhamadani | Sahartina Jufri | Angri Saputra | Arniyati Saleh
| Atfa Mufida | Avioleta Zahra | Ayu Ira Kurnia
| Bintang Kirana | El Fasya | Mukhammad Nailul Huda Rainif Vanesa | Zahara Putri |



SINOPSIS:

Setiap orang pernah merasa RINDU.

Saat itu, dada sepertinya penuh sesak, hingga sulit untuk bernapas. Saat merasa rindu, otak dan hati kita bersatu, tertuju pada satu "DIA".


Lalu apa yang akan kamu lakukan saat merasakan rindu? Mengatakannya? Menemui orang yang dirindukan? Atau menyimpannya saja di dalam hati?


Mengeja rindu adalah mengecap banyak rasa. Penantian, bahagia, kecewa, dan penuh harap. Rindu datang saat menanti. Menunggu untuk bertemu, menuntaskan segala yang ingin diucapkan dan dilakukan.


Rindu datang karena cinta, karena sayang, karena ingin bertemu. Karena itu, nikmatilah rindu saat dia datang. Meskipun menyiksa, meskipun merapuhkan, meskipun membuat jantung berdetak cepat. Karena rindu tetaplah indah. Karena rindu membuat pertemuan menjadi bermakna.


Sekarang, nikmatilah segala campuran rasa dalam rindu di buku ini. Kamu akan bersyukur karena masih dapat merasakan rindu.


Cuplikan Cerpen:


Lama-lama aku seperti ketagihan untuk bertemu dengannya, selalu memikirkannya, dan selalu membayangkan senyumnya. Ada rasa rindu yang menggedor hatiku bila sehari saja kami tidak bertemu. Seperti hari ini, ketika aku dengan susah payah menyempatkan diri datang ke taman untuk bertemu dengannya. Tapi Andri tidak juga datang. Satu jam, dua jam, hingga hari telah gelap, bayangannya tetap tidak muncul. Dengan sedih aku menggurat tanah yang tidak ditumbuhi rumput di dekat pohon, menuliskan pesan untuknya. Singkat saja, hanya “aku rindu”.

Esoknya, ketika aku kembali ke sana, di tempat yang sama tempat aku menulis pesan itu, sudah tertulis pesan baru. Sepertinya si penulis pesan sangat sadar bahwa tulisanku itu untuknya. “Aku juga rindu. Maaf, kemarin aku tidak bisa datang. Aku sedang UTS. Sekarang pun aku hanya datang untuk memberi pesan padamu.”

Membaca pesan itu, hatiku sakit. Aku sadar betul, hatiku telah dicuri olehnya. Bukan, lebih tepatnya, akulah yang memberikannya. Dan bolehkah aku berharap dia merasakan hal yang sama? Pertanyaan retoris yang begitu jelas jawabannya. Tentu perasaan ini harus segera dibunuh, dihancurkan hingga tidak bersisa. Tapi alih-alih mati, dia malah tumbuh semakin subur. Sambil menangis, aku kembali menggurat pesan untuknya, kali ini lewat bait-bait puisi.

Aku tidak pernah mengundangmu hadir dalam hidupk. Kau datang sendiri membelokkan jalanku. Iini bukan sayang, apalagi cinta, ini hanyalah rasa tanpa nama.

Hari selanjutnya, kami tidak juga bertemu, tapi aku menemukan kembali pesan yang digurat di atas tanah. Pesan itu berisi “Aku tahu hatimu, karena aku pun begitu. Aku menulis sebuah puisi untukmu.

Bersandar air pada awan. Diceraikan mendung pada waktunya. Gamang hanyalah perantara. Agar hujan tak turun sia-sia.

Membaca itu, air mata haru mengalir. Hatiku dipenuhi sejuta jenis bunga. Aku sedang jatuh cinta, dan dia merasakan hal yang sama.


(Pada Oktober, Eva SRI Rahayu)



Laras masih tak habis fikir. Dipandanginya sahabat karibnya itu dengan penuh telisik. Ada yang mengusik tapi tak hendak ia pertanyakan. Jemarinya bergerak dengan lincah, mengutak-atik beberapa situs hingga tanpa sengaja dia menemukan akun sang Lelaki Hujan itu. Tanpa sepengetahuan Winda, Laras mencari tahu.

“Langit selalu memberiku sajian istimewa. Bertemu dengannya malam ini adalah sebuah keindahan tak terlukis. Aku rindu, selalu merindukan langit. Hujan yang menyapa adalah bisikan cintaNya yang tak pernah ingin aku tolak. Tak bisa, selalu tak bisa. Sebab aku tahu pada masa berikutnya, pelangi akan mengajakku ke taman-taman penuh rindu”

Tak biasa, Laras bergumam. Kalimat-kalimat yang ditulis lelaki itu dalam beberapa statusnya sungguh luar biasa. Bukan rindu biasa, bukan pula cinta yang biasa.

“Win, kamu salah kalau harus me-remove orang seperti dia. Sangat salah.”


(Jejak Langit Sang Perindu, Endang SSn))


Kelopak-kelopak rindu yang telah lama terpupuk dan siap untuk bermekaran, seketika melayu. Kelopak-kelopak rindu itu kering. Satu-persatu mulai berguguran dan jatuh pada lubang hatiku yang menghitam. Penantian akan mekarnya kelopak-kelopak rindu hanya sebatas harapan.


Aku mencoba mengemasi kembali kelopak-kelopak rindu yang berserakan. Namun, kelopak-kelopak rindu itu tak kan mampu disatukan dan mekar lagi. Napas kehidupan kelopak-kelopak rindu itu telah terenggut oleh ketidakberdayaan.


(Kelopak Kerinduan, Kamal Agusta)



Masih banyaklagi Cerpen, Cermin, Puisi, dan Kata-kata indah yang terangkai atas nama RINDU.



Buku ini dapat dipesan melalui line SMS ke no 083186972428 atau dengan format:

Pesan (spasi) When I Miss U (spasi) jumlah buku yang dipesan.