Kamis, 27 November 2014

Cerpen " Aku Bukan Dia", Medan Bisnis Minggu, 9 November 2014

Udah lama bingit nggak berkunjung ke rumah yang satu ini. Padahal udah banyak yang mau dipost. Oke, ada penghuni baru lagi yang akan dipajang di sini. Selamat menikmati salah satu cerpenku yang dimuat Medan Bisnis edisi Minggu, 9 November 2014.

Aku Bukan Dia

Ayu Ira Kurnia Marpaung



    Puncak kesabaranku sudah di ubun-ubun. Kalian tahu? Rasanya mereka ingin menyembur keluar. Lalu seenak jidatnya menghantam setiap tembok yang menghalanginya. Aku bukan lesbi! Aku cewek normal yang menyukai lelaki. Tapi kenapa Tuhan ciptakan makhluk seperti dia? Aku muak! Aku benci dengan semua ini! Aku ingin menyayat pipinya. Biar dia tahu rasa perih setiap mendengar ucapnnya “aku cinta kamu”. Lalu kujadikan sushi untuk santapan malamku. Agar dia merasakan nikmatnya ejekan orang untuk diriku. Argghh… Aku jijik! Meski ribuan orang bilang”Lesbi bukan pilihan, mungkin karena kurang kasih sayang” aku tak peduli. Memangnya siapa yang akan peduli perasaanku yang terus tersiksa seperti ini. Mereka? Tidak!

    Meski matahari tak begitu garang siang ini, aku merasakan dadaku sesak. Ini bukan sehari atau dua hari. Ini sudah lewat berbulan-bulan aku menyimpan semua rasa kesal. Diam dan diam. Hanya itu yang sampai detik ini kulakukan. Pernah suatu hari ingin mengumpatnya dengan kata-kata kasar. Hanya saja aku masih punya akal pikiran. Dia lebih tua usianya dibandingkanku. Lalu, dengan gampangnya kusimpan amarah itu dalam-dalam. Tak peduli betapa sesaknya dadaku saat itu.

    Semua mata memandangku dengan tatapan aneh. Mereka tercenggang heran mendengar setiap kata demi kata yang terlontar dari mulutku. Aku bisa merasakan itu semua. Karena ini untuk pertama kalinya aku menyembur bak seekor naga yang kelaparan. Aku menghujatnya, memakinya, mengumpatnya, bahkan aku mengeluarkan kata-kata yang aku sendiri benci.

    “Dasar cewek lesbi! Aku masih normal. Aku bukan cewek yang bisa kau jadikan pemuas nafsumu. Cewek gila!!!” Umpatku geram. Terlihat jelas urat leher karena amarah yang menghantamku. Gelas yang ditangan kuhempaskan ke lantai.

Prangg!!!

    Dia menatapku tajam. Mungkin dia sedang melihat iblis dalam diriku. Tak kugubris tatapannya. Aku sudah tak tahan. Dadaku terlalu sesak untuk menyimpan semua kesabaranku. Dan ini yang kutunggu-tunggu. Marah.

    “Kau…”

    “Apaa?!”

    “Siapa yang mengajari kau ngomong seperti ini?” tanyanya penuh heran. Matanya masih menatapku lekat, tak ubahnya macan yang siap memangsa musuhnya.

    “Apa pedulimu?! Tanpa ada yang mengajari aku tahu apa yang harus kulakukan. Kau pikir aku anak kecil. Dengan barang-barang mahal yang kau beri, terus aku akan menukarnya dengan diriku. Seharusnya kau bercermin dan malu dengan dirimu. Kalau kau menginginkan sayang, cari sana lelaki yang bisa menerimamu. Bukan dengan perempuan sepertiku. Mulai saat ini jauhi aku. Aku nggak mau ketularan lesbi sepertimu,” jawabku kasar.

    Usai semua kutumpahkan kekesalanku. Aku menyeret kakiku keluar dari ruangan tempatku bekerja. Tak kuhiraukan atasan yang memanggilku. Aku muak melihat tampang polosnya yang menyimpan semua rahasia hati. Bodohnya aku terlalu percaya akan semua kebaikan yang selama ini terus membanjiriku. Kenapa aku gampang banget percaya kata-kata manisnya? Ternyata semuanya ada harganya. Dan itu aku!

*
    “Amarahmu udah pulih?”

    Aku masih diam. Napasku memburu. Dua botol minuman sudah habis kutenggak tanpa sisa setetes pun. Emosi tadi menguras dahaga. Selepas keluarnya aku dari tempat kerja, aku memutuskan pergi ke kantin. Menurutku di sana tempat yang paling cocok untukku berdamai dengan hati. Unrtungnya ada Ira, teman kerja yang baru tiga bulan akrab denganku.

    “Rus, aku tahu apa yang kau rasakan sekarang. Aku tahu rasanya gimana dicintai dengan sesama jenis. Tapi, bukan berarti kau berhenti bekerja, bukan?” Ira berusaha menenangkanku.

    “Lagian kau mengenalnya lebih lama dibanding denganku. Aku tahu pasti kau lebih memahaminya. Apa kau yakin dengan keputusanmu barusan?” lanjut Ira.

    “Entahlah, Ra. Aku capek. Aku hanya ingin kerja, nggak lebih. Tapi selalu saja dia membuatku kalap dan merasa jengah. Aku muak dan ingin muntah melihat kelakuannya. Bodohnya, aku percaya dan polos banget dengan semua kebaikannya selama ini. Aku nggak habis pikir dengan cara gilanya menyukaiku.”

    Ira mengelus lembut punggungku. “Rus, kau udah kenal lama dengannya. Seharusnya kau bisa menempatkan dia di hatimu. Dia hanya butuh kasih sayang. Nggak lebih, Rus.”

    “Jadi maksudnya, kau menyuruhku berhubungan dengannya? Gila kamu, Ra! Aku pikir kau akan memberiku solusi yang lebih baik untuk masalah ini. Nyatanya kau sama sekali nggak pernah ngerti tentang aku. Kau nggak beda jauh dengannya, Ra,” emosiku kembali mengalir ke seluruh nadi.

    “Rus, maksudnya…”

    “Cukup, Ra! Sebaiknya kau jauh-jauh dariku. Aku nggak mau kepalaku pecah mendengar omonganmu yang nggak jelas. Satu hal lagi! Jangan pernah kau samakan aku dengan dia, karena aku bukan dia! Camkan itu,” usirku cepat.

    Ira memandang kecut ke arahku. Mungkin dia sakit hati dengan ucapanku barusan. Peduli setan. Yang penting aku ingin menjauhi dari orang-orang yang berjiwa gila.

*
    Aku membekep mulut rapat-rapat. Takut kalau mereka sampai mendengar suaraku. Ini di luar dugaanku. Bahkan aku tak pernah berpikir sejauh ini. Rasanya aku sedang bermimpi di siang bolong. Apa ini? Mereka begitu sangat menikmatinya. Aku bisa melihatnya dari kejauhan ini. O my god, tolong bangunkan aku biar mimpi buruk ini berakhir, pekikku dalam hati.

    Aku berjinjit pelan mendekati kamar kost. Pintunya sedikit terbuka. Aku ingin menajamkan indera pendengaran dan pengelihatanku.

    “Sayang, aku mencintaimu setulus aku mencintai diriku. Aku janji nggak akan menduakan cintamu atau bermain api di belakangmu.”

    “Janji, ya. Aku juga nggak akan membiarkan satu orangpun memilikimu kecuali aku. Jangan pernah coba-coba untuk menyakitiku. Kamu akan tahu sendiri akibatnya.”

    Perutku mual mendengar ocehan gila mereka. Sejak kapan ini? Apa aku harus tutup mulut dan membiarkan ini lebih jauh lagi? Aku lebih baik amnesia. Kenapa aku yang ada dalam bagian dari mereka bisa-bisanya tak menyadari. Kepalaku mulai tak bersahabat. Adegan setiap adegan terekam jelas di mataku. Raya dan Ira bercumbu mesra. Bahkan aku tak pernah menduga jika Ira memiliki jiwa lesbi seperti Raya.

  


Puisi "Wanita Berpayung Gelisah" Harian Waspada Minggu, 26 Oktober 2014

Puisi ini terbit di Harian Waspada. Padahal banyak puisi yang dikirim, mungkin hanya ini yang nyantol waktu nyampe. Hihii... Nggak ada masalah pelan-pelan lagi nulisnya. Selamat menikmati ^_^
Wanita Berpayung Gelisah

Hujan luruh bersamamu
Menikam luka berserak di jalanan
Lalu kupunggut dalam sepi
Agar dunia tahu, aku wanita jalan
Berpayung gelisah dalam tangis

Pagi mengering basah tadi malam
Selimutkan embun
Pun kau tertawa dalam laraku
Lihat! Aku wanita jalang mengutip rasa
Tanjungbalai, 2014


Novel " Ghost Back to Campus" (ANZA, 2014)

Setiap penulis pasti punya impian punya buku sendiri, namanya mejeng di cover buku. Dan itu nggak mudah. Sama halnya denganku, berharap ada namaku yang mejeng dalam cover buku. Taraaa..... Chef Oke dan kawan-kawan membantuku dengan nulis novel keroyokan. Sebenarnya ini part 2 dari novel Asrama Hantu gendeng punya Chef Oke.

Kenapa? Kamu juga pengen? Yuk, sama-sama belajar melawan malas biar cepat berhasilnya. Sekalian promosi buat yang belum punya bukunya. Kamu bakal bisa sepuasnya ngakak bareng Mbak Kunti, Oom Pocong, dan kawan-kawan. ^_^ hihiii

Sekilas tentang "Ghost Back to Campus"

 GHOST BACK TO CAMPUS

Sreeet…

Bapak terkesiap. Tiba-tiba ada yang menarik kain sarungnya, entah siapa, hingga kain itu melorot ke bawah. Untung dia pake celana dalam, kalau enggak, ‘burung’ di dalam sangkar kan bisa terbang. Melihat pemandangan itu Emak kembali histeris.

“BAPAAAK….!” Jerit Emak. “Nggak usah porno di depan Emak, napah?”

“Ee-enggak tahu nih, Mak. Tiba-tiba saja ada yang menarik kain sarung Bapak,”
jelas Bapak. Dia sebenarnya juga bingung. Kenapa kain sarungnya bisa melorot sendiri.

“Enggak usah banyak alasan. Bilang aja….”

Sreeet…

Belum selesai Emak ngomong, tiba-tiba handuk yang membungkus tubuhnya ikut-ikutan melorot kebawah, hingga tubuh gemuknya yang hanya memakai celana dalam itu terpampang jelas, pun kedua ‘pepaya’ yang menggelantung di dadanya, yang mulai tampak menggelambir dan kisut di makan usia. Emak menjerit seketika.

“Aaaaahhhh… Bapaaaaakkk! Kenapa bisa jadi seperti ini?”

“Enggak tahu, Mak. Bapak juga bingung.”

Saat mereka sedang repot menyelamatkan ‘perabotan’ masing-masing, tiba-tiba Endah dan Juki masuk ke dapur. Melihat kedua orangtuanya nyaris bugil, Endah menjerit.

“Emaaaak..! Bapaaak..! Kenapa dengan kaliaaannn…? Apa tadi malam belum puas?” Juki spontan menutup wajah, sambil mengintip dari sela-sela jarinya.





 Saking lucunya, nggak peduli mau baca di mana. Di atas rumput juga enak. Hihiii


Di pinggir sungai, di atas pohon juga asyik. Baca bukunya nggak peduli keadaan. Kalian penasaran bukunya? Masih bisa di pesan kok. ^_^ Buruan sebelum kehabisan...

Kamis, 08 Mei 2014

mayokO aikO Goes to Campus USU Medan

mayokO aikO Goes to Campus USU Medan
Oleh: Ayu Ira Kurnia Marpaung

Rabu, 07 Mei 2014, tepatnya di FISIP USU Medan berlangsung acara pelatihan kepenulisan Novel dan Advertising bersama Ayah mayokO aikO dan Opa Putra Gara. Sumpah! Keren banget. Dan untuk pertama kalinya seorang Ayah aikO bisa menjejakkan kakinya ke kota Medan. Horas!


Tepat pukul 10.00, acara pelatihan dimulai. Dimulai dengan perkenalan dari dua sosok narasumber yang sudah rela-rela datang dari jauh. Materi pertama, diberikan oleh Ayah aikO. Materi yang diberikan adalah tentang iklan. Wew! Terang saja sambutan hangat dari peserta saat mendengarkan satu persatu penjelasan Ayah aikO. Peserta sangat antusias, apalagi ada buku gratis juga yang diberikan Ayah untuk peserta yang beran bertanya dan maju ke depan.


Kemudian dilanjut oleh Opa Putra Gara memberikan materi tentang kepenulisan novel. Beberapa materi yang diberikan ada berupa semangat untuk menulis bagi pemula yang merasa tulisannya kurang layak. Salah satunya adalah "Tulisan kamu jelek banget" | Iya, kan saya nuliisnya bukan buat kamu". Salah satu qoute Opa Gara yang membuat peserta manggut-manggut. Dan satu qoute yang lebih membuat peserta semangat adalah "Pena lebih dasyat dari pada dentuman meriam".
Pelatihan ini diikuti lebih dari 80 orang yang tergabung oleh Mahasiswa dan umum. Antusias mereka terlihat dari jarak yang ditempuh peserta untuk datang ke tempat. Pelatihan ini juga disertai sertifikat yang dtandatanganin oleh Dekan serta dua narasumber. Usai acara, dua narasumber mendapat bingkisan dari panitia. Dilanjut foto bareng bersama. Dan menurut bisik-bisik peserta, pelatihan ini kurang lama banget. Hhihihi






Medan, 07 Mei 2014


Minggu, 20 April 2014

Majalah Halo Nanda

Cernakku akhirnya mejeng juga meski di majalah online. "Airmata Langit" cernak pertama yang dimuat di Majalah Online edisi 27 Maret 2012.


Airmata Langit
Oleh: Ayu Ira Kurnia Marpaung


"Lihat, Dila! Langitnya bersedih," teriak Nabil sambil berdiri di atas bukit hijau. Tangannya menunjuk ke arah langit yang mulai tampak mendung.
Siang ini, Nabil mengajak Dila bermain di atas bukit hijau, tidak jauh dari rumah kakek dan nenek. Sudah dua hari mereka berlibur di sini.
"Ah, bukan. Mana mungkin langit bersedih. Dia kan bukan manusia seperti kita," sahut Dila.
Nabil memajukan bibirnya mendengar ucapan Dila. Saudara kembarnya itu selalu tidak percaya dengan ucapannya.
"Kamu terlalu percaya kata Nenek," sambung Dila sambil mendekati Nabil. "Mana kedua matanya, kalau langit bisa menangis?
Nabil tidak menjawab pertanyaan Dila. Ia malah asyik memperhatikan langit. Menurutnya kedua mata mata langiat adalah awan. Kalau awan hitam, bertanda akan turun hujan.
“Tuh kan, kamu nggak tahu jawabannya,” Dila tertawa.
Tiktiktik.. tiba-tiba dari langit jatuh titik-titik hujan. Semakin lama semakin banyak.
“Dil, ayo kita pulang!” teriak Nabil. Dila mengangguk.
Dua bocah perempuan sepuluh tahun itu dengan sekuat tenaga berlari menuruni bukit. Sebentar saja, mereka sudah basaj kuyup.
“Aduh cucu-cucu Nenek. Kalian darimana?” sambut Nenek khawatir di pintu rumah.
“Kami tadi bermain di atas bukit, Nek!” jawab Nabil.
Nenek mengeleng-gelengkan kepala. “Cepat kalian mandi sebelum masuk angin!”
Nabil dan Dila bergegas mandi. Setelah mandi, mereka menemui nenek di ruang tamu. Nenek sudah menyiapkan teh hangat dan sepiring pisang goreng.
“Nek, masa Dila nggak percaya, kalau langit bisa bersedih,” lapor Nabil lalu mencomot pisang goreng.
“Iya, aku nggak percaya, Nek!” tukas Dila
Nenek terkekeh hingga ompongnya terlihat. “Hujan adalah airmata langit. Biasanya, langit bersedih karena melihat bumi tidak dijaga dan dirawat manusia dengan baik. Bukankah Kakek selalu menasihati kalian untuk selalu menjaga lingkungan. Kalian tahu apa akibatnya kalau langit terus menangis?"
Nabil dan Dila kompak menggeleng.  Mereka tidak mengerti ucapan nenek.
"Kalau langit tidak berhenti menangis, bumi akan kebanjiran. Kita akan tenggelam. Tidak ada pohon-pohon untuk berpegangan. Harusnya kita menanam pohon yang banyak supaya saat langit menangis, kita tidak hanyut terseret banjir," ucap Nenek.
"Kalau langit masih menangis gimana, Nek?” tanya Nabil penasaran.
"Langit bukan menangis karena sedih, tapi bahagia. Langit akan membantu kita menjaga bumi agar tampak hijau, persis bukit tempat kita berdiri sekarang."
 “Terus apa yang harus kita lakukan supaya langit bisa menangis bahagia? Kita kan masih kecil, Nek” tanya Dila bingung. Tangannya menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“Besok kalian bantu Kakek  menanam seribu pohon di kampung ini. Bagaimana? Kalian mau? Tiba- tiba kakek masuk ke ruang tamu. Ternyata Kakek sejak tadi mendengar perbincangan nenek, Nabil dan Dila.
Mau, Kek!” jawab Nabil dan Dila serempak.
*
          Hari Minggu yang cerah. Nabil dan Dila sudah siap dengan baju olahraga dan sepatu sport. Rambut mereka dikuncir kuda. Kakek juga sudah siap. Di halaman rumah sudah banyak pohon-pohon yang siap ditanam.
          “Ayo, kita kumpul di rumah Pak Ridwan. Biar cepat pohonnya ditanam dan kampung kita bebas bencana,” ucap kakek.
          Nabil dan Dila mengangguk. Mereka berjalan penuh semangat. Di sana sudah banyak warga yang kumpul. Banyak juga anak-anak seusia Nabil dan Dila. Mereka juga ingin ikut menanam seribu pohon. Di mulai dari rumah warga, satu persatu pohon di tanam.
          Nabil dan Dila dan warga segera menanam pohon. Mereka tidak meperdulikan pakaian kotor. Semuanya bersemangat dan tidak kenal lelah. Sudah hampir setengah hari mereka menanam pohon, tinggal beberapa pohon yang belum ditanam.
          “Lihat, langitnya mulai sedih lagi. Bukannya seharusnya dia senang karena bumi akan hijau kembali,” teriak Dila.
          “Langit tidak bersedih. Langit akan menurunkan hujan untuk  membantu menyuburkan pohon yang baru kita tanam,” tukas Nabil
            Kali ini Dila mengangguk setuju.

 


Minggu, 13 April 2014

Majalah HAI

Alhamdulillah, sempat mikir nggak bakal bisa naklukkan majalah satu ini. Tapi..... Makasih buat kalain yang selalu ada saat aku jatuh.

Cerpen "Gue (Bukan) Playboy" terbit di Majalah HAI edisi 10/2014/XXXVIII

Gue (Bukan) PlayboyOleh: Ayu Ira KurniaMarpaung

"Pokoknya aku nggak sukaliat kamu deket-deket sama Vivie. Emang dia siapanya kamu sih, bela-belainbantu dia beresin gudang," cerocos Eki manyun.

"Kan bantu temen dapat pahala,Beb. Jangan cemburu gitu dong. Ntar nggak embem lagi tuh pipinya," rayuBana manja.

Eki cuma balas cemberut. Hatinyalagi dibakar api cemburu. Gimana nggak dongkol kalo liat pacar lagimesra-mesraan bareng musuh bebuyutan. Bana yang duduk disebelahnya cuma bisabengong. Huh! Bakalan jadi Bang Toyibnih, rutuknya. Kalo bukan Akbar yang membeberkan semuanya, nggak bakalperang dunia nih. Dasar Akbar ember!omel Bana kesal.

*

"Kalo udah punya satu cewek,jangan main tikung ke cewek lain, Bro. Tahu sendiri kalo si Eki cemburuan. Losendiri kenapa doyan sih sama dia. Udah gendut, item, kribo lagi," selaAkbar di kantin.

"Namanya juga cinta. Lagiangue juga nggak cakep-cakep amat. Mana mungkin berani suka sama cewek bening.Bisa-bisa gue diketawain. Lagian Eki itu tipe gue banget, anaknya asik dannggak bosenin," balas Bana sewot. 

Diseruputnya sampai kinclong es cendolyang ada dihadapannya. Rasa hausnya belum juga terobati perihal Eki yang masihmogok ngomong dengannya. Niat awal mau sidang Akbar perihal masalah kemarendipending karena disogok es cendol.

"Jangan nyerah dulu, Bro.Buktinya banyak cewek-cewek yang deketen lo. Vivie, Ita, Anggrek, Widia, itusemua cewek populer yang ngarep bisa jadi gebetan lo. Lonya aja pura-pura begoatau emang beneran bloon," Akbar menambahin omongannya.

Bana cuma bisa bertopang dagu.Pikirannya masih di satu titik, Eki. Biarpun orang bilang dia cewek aneh, tapiada satu kelebihan yang nggak dimiliki cewek lain, kepintarannya. Cowokcungkring ini mengaku bisa klepek-klepek karena habis diajarin Matematika danbesoknya langsung dapat nilai B plus. Dari situ Bana mulai simpati sama Eki.Cinta emang buta ya. Hihihii

“Biar kata orang cinta itu buta,bukan berarti lo harus buta milih calon pacar. Kalo gue sih amit-amit gitupacaran sama Eki. Biar tampang pas-pasan, gue masih milih-milih yang mau guejadiin pacar.” Mulut Akbar penuh makanan, sampai omongannya nggak jelas gitu.Makanannya berhambur ke sana-sini. Membuat Bana makin dongkol.

“Badan segede itu mau milih-milihpacar. Mimpi itu jangan ketinggian, kalo jatuh badan lo bisa kempes,” balasBana sewot.

Akbar cuma cengengesan. Belnyaring memekakkan telinga. Memaksa Bana dan Akbar meninggalkan kantin sebelumPak Lonyenk, guru horor itu masuk duluan. Bisa bener-bener hidup di nerakadibuatnya seharian penuh.

*
Ini udah seminggu dari Banamenyetujui untuk menarik perhatian cewek-cewek yang jadi target mereka. Banaberhasil membuat empat cewek populer nempel terus di sampingnya. Vivie selalusaja mengantarkan sarapan roti plus slai stoberi, Ita memberikan dengan sukarelawanuang sakunya setiap Bana kehabisan ongkos pulang naik angkot.  Anggrek selalu datang tepat pada waktunya,ketika Bana kesulitan mengerjakan pe-er Bahasa Indonesia menulis puisi. DanWidia, cewek kurus tinggi langsing ini tampak ikhlas memberikan senyuman mahalyang jarang diberikan kepada orang lain.

Sementara, Eki diwanti-wanti biarnggak liat pemandangan panas ini. Bisa kacau urusan percintaan. Padahal Banakasihan banget kalo Eki sampai diduain hanya karena fisik. Untungnya, sejakkejadian itu Eki jarang kelihatan. Mungkin lagi nyiapin bekal buat ikutanlomba. Maklum, jelek-jelek begitu Eki sering dapat prestasi dan mengharumkannama sekolah. Tapi bukan bunga kantil yaa, sereeemmm. Hiihiihii…

*

"Gimana Bro? Lo pilih yangmana untuk dijadikan pacar simpanan lo? Lumayan ‘kan bisa buat hari lo lebihberwarna. Biar nggak kusam terus," ujar Akbar selepas dari perpustakaan.

Bana cuma diam. Matanyamenerawang jauh. Entah apa yang dipikirkannya. Yang pasti cuma dia dan Tuhanyang tahu.

"Kok diam aja sih? Kenapa? Nggakpede? Emang sih, kalo diliat dari tampang lo nggak keren-keren banget, bukanketua OSIS, bukan kapten basket, nggak cool,tapi banyak cewek yang kepincut. Heran gue jadinya," Akbar menggarukkepalanya yang tak gatal.

"Tapi gue baik, Bro. Senangmembantu mereka sampai selesai tanpa pamrih," sahutnya asal.

"Nah, tunggu apa lagi.Pacarin aja salah satu dari mereka, kalo perlu semuannya," timpal Akbarsemangat.
Hening beberapa menit.

“Kok diam aja sih? Lo bengong apakesambet? Mikir kayak gini aja, udah mirip ngadapin ulangan Fisika,” sambungAkbar kesal.

 "Sebenarnya gue mau banget. Tapi guenggak bisa. Gue udah netepin hati gue buat Eki. Nggak peduli orang bilang apatentang dia, yang penting hatinya. Satu lagi, mungkin cewek yang kepincut samague karena gue bukan cowok playboy,"tandasnya akhirnya, membuat Akbar mati kutu. Percuma dong gue manas-manasin lo tiap hari. Gatot deh, alias gagaltotal,rutuk Akbar kecewa.