Sabtu, 27 April 2013

Cerpen, "Sebuah Pengkhianatan" Terbit di Medan Bisnis, 24 Februari 2013

Akhirnya, ada juga cerpenku yang berhasil lolos di media satu ini. Media yang sudah lama ingin aku taklukkan. Apalagi kalau bukan Medan Bisnis. Cerpenku yang dimuat di edisi Minggu, 24 Februari 2013 di Rubrik Art and Culture..


Puisiku terbit di Harian Waspada, 17 Februari 2013

Puisiku di Koran Harian Waspada edisi Minggu, 17 Februari 2013.

Puisiku terbit di Asahan Post, 7 Januari 2013

Awal tahun yang super keren buat diirku. Kembali (lagi) puisiku hiasi koran Asahan Post edisi Senin, 7 Januari 2013




Puisi-puisi karya Ayu Ira Kurnia Marpaung

(1)
Hari Kita, Ibu
Ibu, baru saja dunia bersorak ria menyambut harimu
Tak hentinya mereka berkoar-koar menyanjungmu
Hingga suara mereka perlahan serak
Ibu, di bulan yang sama aku ingin bersorak jua
Lihat! Bulan ini kita menangis bersama
Saling meniup lima lilin di atasnya
Merayakan tiga hal istimewa sekaligus
Kelahiran seorang Ibu, anak, dan seluruh Ibu nusantara
Ibu, akhir tahun bukan akhir dari doaku dan doamu
Aku ingin selamanya memeluk tubuhmu, mencium aroma peluhmu, dan menggenggam mimpi kita bersama
Tanjung Balai, 24 Desember 2012


(2)
Setahun Yang Lalu
Ini cerita gadis mempertahankan cintanya
Meski harga diri telah dipertaruhkan
Hanya caci maki yang didapat
Ini cerita gadis bodoh yang dipermainkan oleh cinta
Rela disetubuhi meski ikatan suci belum terjalin
Kalian tahu? Dia gadis lugu yang diperbudak asa
Mencari ke sana kemari nikmatnya cinta
Pun tak bertemu, hingga jembatan jadi jawabannya
Ini cerita gadis malang setahun yang lalu
Tanjung Balai, 24 Desember 2012


(3)
Tahun Baru Tanpa Ayah
Tuhan, bagaimana kabar Ayah di sana?
Dia baik, kan?
Masih adakah senyumannya untukku hari ini?
Ayah, aku kangen pelukanmu yang meredam amarahku
Aku rindu akan semua tegurmu saat aku salah
Aku rindu tangis harumu saat satu persatu mimpi kuraih
Ayah…aku kangen
Album usang kini jadi temanku
Bersama Ibu kunikmati tahun baru ini
Tanpamu, tanpa canda, dan tanpa senyummu
Tanjung Balai, 24 Desember 2012







Majalah Liberty, "Rahasia Kalung Tunangan" 2013

Assalamualaikum, sahabat blogger's. Kali ini aku punya waktu untuk menempel karyaku (lagi) dalam madding pribadiku, apalagi kalau bukan blog setia. Nggak usah lama-lama langsung aja yaa. Ini cerpen hororku yang pertama di awal tahun 2013.

Cekidoottt!!!






Rahasia Kalung Tunangan
Oleh: Ayu Ira Kurnia Marpaung


            Di luar rintik hujan masih membasahi tanah. Sesekali gonggongan anjing tetangga menambah mencekamnya malam itu. Sementara dalam rumah erangan panjang masih saja keluar dari mulut Riana. Gadis berusia dua puluh satu tahun itu harus merasakan sakit yang aneh. Sudah beberapa dokter menanganinya, namun jawaban selalu sama, Riana tak menderita sakit apapun. Tentu saja Ibu dan keluarga Riana heran. Semenjak putusnya Riana dengan tunangannya, Safri, Riana selalu saja mengeluh sakit pada dadanya. Kadang Riana menjerit histeris, menangis, tertawa sendiri, bahkan membisu.

            “Anak Ibu terkena santet dari pihak lelaki. Mereka nggak terima dengan gagalnya pernikahan anak Ibu. Mereka ingin anak Ibu seperti ini, sampai nggak ada satu orangpun yang menyukai anak Ibu. Bisa dibilang, mereka ingin anak Ibu menjadi perawan tua,” tutur Pak Zuhri, orang pintar yang sengaja dipanggil Gugun, abang ipar Riana.

            “Maksudnya….” ucapan Ibu Riana terputus. Tenggorokannya tercekat. Prihatin melihat kondisi anak bungsunya. Apalagi setelah mendengar penuturan Pak Zuhri.

            “Iya, Bu. Anak Ibu harus segera diobati, semakin lama dibiarkan nyawa anak Ibu bisa melayang. Pihak lelaki juga menjadikan anak Ibu sebagai pemujaan,” lanjut Pak Zuhri.

            Airmata mengucur deras. Semua yang berkumpul menatap miris tubuh Riana yang kaku. Matanya membelakak, napasnya memburu, kakinya mengejang kaku. Mungkin tubuh Riana kesakitan saat ia mengejang-ngejang menghentakkan tubuhnya.

            “Riana, malang benar nasibmu, Nduk. Baru pertama kali merantau, kenal dia, terus tunangan, dan akhirnya putus sudah membuatmu menderita seperti ini. Gusti, salah apa anakku ini….?” isak Ibu tertahan.

            “Besok, cari bambu kuning, tebu hitam, dan benang merah. Kita harus buat dulu penangkal di rumah. Kalau tidak, mereka bisa terus-terusan mengirim santet ini. Kalian harus tahu, ini bukan sembarang ruh halus, tapi begunya hantu. Anak ini juga diikuti gendoruwo yang menyukai tubuhnya.” Suasana malam semakin larut dalam kesedihan. Riana belum juga sadar. Ayat-ayat Al-Qur’an hanya membuat Riana kesakitan. Tidak! Bukan Riana, tapi roh halus di dalam tubuhnya. Malam pekat diselimuti gerimis, membuat bulu kuduk merinding merasakan desiran angin.

            “Apa malam ini nggak bisa langsung dikerjakan, Pak? Kasihan Riana, dia pasti capek sekali.”

            “Bu, ini sudah sepertiga malam. Siapa yang mau nyari bambu dan tebu malam-malam gini? Malam ini, saya buatkan dulu penangkal sementara. Nanti anak Ibu akan sadar,” ujar Pak Zuhri menenangkan.

            Semua hanya mengangguk pasrah. Perlahan tubuh Riana lemas, sepertinya roh halus di tubuhnya sudah keluar. Malam ini tak ada satupun mata yang terpejam. Mereka was-was kalau Riana kerasukan kembali.

*
            “Maaaasss…aku sayang sama Mas. Maaaaasss…tunggu adek. Adek nggak mau sendirian. Adek mau nikah sama Maasss…” jerit Riana histeris. Tetangga mengkerumuni rumah Riana. Pak Zuhri dan anak wayangnya memulai ritual. Memanggil perewangan masing-masing. Riana masih terus berontak. Giginya terus saja berbunyi geram, matanya melotot. Tubuh Riana dingin seperti es. Malam itu, seperti tontonan gratis. Beberapa anak wayang mulai kerasukan perewangan masing-masing. Ada yang minta makan beling, ada yang menyerupai harimau, bahkan ada yang tingkahnya seperti monyet.

            “Maaaaaassss, adek ikuuttt samaa Maassss,” tangis Riana. Kemudian tubuh Riana lemas. Penagkal di pasang setiap sudut rumah. Entah roh mana yang masuk dalam tubuh Riana, mengungkap semua misteri.

            “Kembalikan kalung tunangannya. Kalung itu ada yang mengendalikan…”

            “Maksud kamu apa?” Pak Zuhri mencoba berkomunikasi dengan roh halus.

            “Kalung itu ada isinya. Seberapapun kalian buang ditubuhnya, kalung itu tetap mengikat lehernya. Kalung itu bisa membunuhnya, kalau nggak segera dipulangkan. Arghh…aku kasihan dengannya. Cepat pulangkan kalung itu atau tubuhnya akan ikut bersama tuanku…Arghhh…”

            “Astagfirullah…” semua keluarga tak ada yang percaya apa yang baru saja mereka dengar. Sementara di luar sana, salah seorang anak wayang muntah darah. Tubuh Riana kembali mengejang. Dengan cepat tangan Pak Zuhri membuka kalung yang melilit di leher Riana, dibantu dengan keluarga lainnya. Bukan hal yang mudah, Riana selalu saja menggagalkan dengan menggigit tangan mereka hingga membiru.

            Riana terus saja menggeluarkan kata-kata yang tak ada satu orangpun mengerti. Pak Zuhri terlihat lelah, usahanya membuka kalung yang melilit leher Riana belum juga berhasil. Sementara Pak Zuhri mengobati anak wayangnya yang terluka. Malam begitu cepat berlalu. Ini sudah tengah malam. Namun Riana masih terus saja menggeliat hebat.

            “Bu, sebelumnya anak Ibu pernah mengalami seperti ini?”

            “Belum, Pak. Selama ini, anak saya selalu sehat. Kalaupun sakit, hanya deman saja. Makanya saya kaget waktu dengar dia putus dengan tunangannya. Bukan itu saja, keluarga juga heran waktu Riana cerita kalungnya lepas dari leher, tapi pengkaitnya masih bersatu. Dari situ, pikiran saya sudah nggak enak. Riana, juga perlahan seperti orang bingung menyadari dirinya sudah tunangan,” tutur Ibu Riana.

            Pak Zuhri mengangguk-angguk mengerti. Pak Zuhri kembali berkonsentrasi. Membaca mantra-mantra dengan telapak tangan diletakkan di atas kening Riana. Kontak saja Riana menjerit histeris. Riana berteriak tubuhnya kepanasan, padahal malam ini sangat dingin. Tanpa ba-bi-bu lelaki yang ada di sana memegang Riana kuat-kuat, takut kalau mereka terpental. Pak Zuhri menyuruh salah seorang dari keluarga Riana untuk segera membuka kalung, dan memasukkannya dalam air yang sudah dibacakan ayat-ayat Al-Qur’an.

            Mulut Riana menganga lebar. Cairan kental keluar dari mulutnya. Cairan itu terus saja keluar sampai tubuh Riana lemas. Pak Zuhri beralih pada kalung yang ada dalam gelas. Membaca sebait doa, kemudian membungkusnya dengan kain putih.

            Sementara di rumah yang berbeda, Safri menggelepar seperti ayam potong. Lidahnya menjulur keluar dengan mata melotot.

Tinggalkan kritik dan saran. Untuk bisa diperbaiki di cerpen berikutnya. ^_^Selamat membaca