Sudah lama, kita nggak bercengkrama seperti dulu. Menikmati petikan gitarmu dan suaramu yang merdu. Kau tahu? Aku sangat merindukannya, Tas. Aku sangat menginginkan itu kembali lagi seperti dulu. Kenyataan pahit yang harus kuterima, saat kita salah ambil keputusan.
Tas, ini sudah Desember tapi kau belum juga keluar dari persembunyian. Kenapa begitu tega kau tanam rindu ini di hati? Kenapa kau begitu dingin dengan perasaan masing-masing? Sudah bosankah kau mengenangnya? Atau kau sudah memiliki pengganti diriku?
Kadang aku bego, bodoh, dan konyol terus mengingatmu. Jujur, aku tak bisa lepas dari cintamu. Cinta yang mengajarkan arti persahabatan. Cinta yang mengajarkan arti memiliki. Kita sahabat tapi kita mencinta. Tas, aku ingin Desember ini kau hadir. Lihat aku sudah banyak berubah, meski kau tak pernah menginginkan perubahan ini.
Tasi, aku selalu belajar dari semangatmu menggapai impian, kau adalah motivasi setiap kegalauanku. Inspirasi setiap karyaku.
Cinta ini akan semakin erat seperti sebuah persahabatan. Love u
Mimpi akan membawamu pada impian. Jangan takut untuk bermimpi. Semoga blog ini benar-benar menginspirasi pembaca
Selasa, 04 Desember 2012
Sabtu, 24 November 2012
Cerpenku di Harian Waspada, "Seputih Cinta Jingga", 25 November 2012
Rasanya Minggu ini aku benar-benar "beruntung". Benar yang diucapkan Om DAN "Tulis, kirim, lupakan, dan kirim (lagi)" akan membuat kita begitu semangat untuk tetap menulis dan menulis. Oke, hari ini Minggu,25 November 2012 kembali cerpenku "Seputih Cinta Jingga" mewarnai di Rubrik Cemerlang di Koran Waspada. Selamat menikmatinya. Buat yang sudah baca jangan lupa tinggalkan kritik dan sarannya. ^_^
Seputih Cinta Jingga
Oleh: Ayu Ira Kurnia Marpaung
Aku masih berdiri di pantai.
Menikmati hembusan angin yang bermain manja pada belaian rambutku. Deburan
ombak masih berlomba untuk mencapai bibir pantai dengan adu cepat. Terlihat
senja tersenyum dengan memperlihatkan jingganya pada cakrawala. “Aku merindukanmu,”
desahku lirih.
Berkali-kali aku melempar batu
kerikil ke laut sana. Tenggelam dan tidak kembali. Apa rasa ini seperti batu
tadi? Datang menghiasi hari-hariku dan tenggelam oleh waktu yang
memenjarakannya? Tuhan, kemana langkah ini harus mencarinya. Aku terlalu lelah
untuk membiarkan cinta ini terurai pada tempat yang salah. Cukup sudah rasa
sakit yang pernah merayap pada hati ini.
Aku terhempas pada pasir pantai.
Membiarkan ombak membasahi tubuhku. Menatap senja yang akan segera datang untuk
memberi obat penawar rindu. “Hujan, di mana kau? Apakah aku harus memanggilmu
dengan mantra kerinduan?” desahku lirih.
Aku bangkit dan memandang laut yang
membentang. Merentangkan tanganku lebar-lebar. Membiarkan angin membawa semua
resah yang bergelayut dalam pori-pori kehidupanku.
*
“Hai, apa yang kau lakukan?”
Aku hanya menoleh sesaat,kemudian
melanjutkan pandanganku pada rinai hujan yang masih setia menemaniku menikmati cappuccino. “Dasar, ganggu orang saja,”
rutukku lirih.
“Kau sedang apa?” Ia mengulang
pertanyaannya hingga membuatku terusik. Kali ini aku mendesah panjang.
“Apa pedulimu!”
“Aku hanya penasaran saja. Sedari
tadi aku memperhatikanmu hanya mengaduk-aduk gelasmu. Terus manyun ketika
melihat luar hujan masih mengguyur kota ini,” katanya panjang lebar.
“Aku paling benci hujan.” Jawaban
yang menurutku sangat tepat. Tanpa seizinku dia menempati sofa kosong di sampingku. Seakan-akan dia orang yang sangat berarti
saat itu.
“Aku suka hujan. Kau tau?”
“Dasar aneh! Untuk apa juga aku
harus tahu. Itu nggak penting buat hidupku,” omelku dalam hati.
“Kau harus tahu. Karena aku akan
mengajakmu untuk menyukai hujan.” Dia seakan membaca pikiranku. Dasar bego,apa
peduliku.
“Hujan itu sangat indah. Kau bisa
membaur bersama hujan jika kau merasa sendiri atau bersedih. Hujan itu
menyejukkan, aromanya yang membuat kita merasa damai. Kau tahu, hujan juga
memberikan keindahan yang sangat luar biasa.”
Aku memandangnya heran. “Kau bilang
hujan memberikan keindahan. Apa nggak sebaliknya? Hujan hanya bisa mengurungku
berlama-lama dalam cafĂ© ini.”
“Hei, kau salah. Hujan akan memberi
pelangi. Itu keindahannya. Kau tau semua orang menyukainya.”
“Oh, ya boleh aku mengetahui namamu?”
tanyanya seolah tak menggubris kekesalanku.
“Jingga.” Ucapku pendek.
*
Pertemuan yang membuatku harus
sering bertemu dengannya. Sosok misterius yang selalu hadir saat hujan
membasahi bumi. Entah mengapa ada perasaan aneh yang menyelimutiku. Antara
perasaan senang, benci,bahkan deg degan.
“Tuhan, perasaan apa ini? Aku benci
lelaki yang menyukai hujan. Sangat.” Aku menggigit bibirku. Sudah terlalu
sering aku tersakiti dengan lelaki yang menyukai hujan. Entahlah,seperti duri
yang perlahan menyobek hatiku hingga terasa perih. Aku tak mengerti kesalahan
apa yang telah kulakukan hingga aku seperti mendapatkan kutukan ini.
Bukan ingin menyalahkan takdir yang
selalu mempertemukanku dengan lelaki penyuka hujan. Seperti kebetulan yang
sudah direncanakan olehNya. Aku hanya bisa mengutuk dan mengutuk diri. Akankah
hujan bisa kembali bersahabat denganku, Jingga? Pertanyaan bodoh yang selalu
hadir dalam bayangan tidurku.
*
Hari ini aku lebih awal pulang dari
sekolah. Maklum ada rapat guru. Aku memilih pergi ke pantai menghabiskan waktu
senggangku. Ya, pantai adalah tempat favoritku untuk bisa membuat pikiranku
lebih fresh. Selain melihat senja
berjam-jam, aku juga suka laut yang biru. Menurutku laut dan senja dua hal yang
sangat indah. Apalagi dengan balutan hujan yang saat ini selalu menghiasi
hari-hariku.
Hampir satu jam aku duduk di
hamparan pasir. Menikmati jilatan ombak pada kaki telanjangku. Tanpa sengaja
mataku merekam kejadian yang membuatku shock.
Rangga bersama orang lain begitu mesranya mereka bergandengan tangan. Aku
tergugu. Tanpa dikomando airmataku jatuh membasahi pipiku. Dengan sisa-sisa
kekuatan yang kumiliki saat ini, kucoba menghampiri Rangga.
“Rangga,” panggilku lirih. Tanpa
merasa bersalah dia menoleh dan menatapku datar dengan jawaban “ya”.
“Siapa
dia? Ada hubungan apa denganmu?” tanyaku terbata menahan amarah yang sudah
bergejolak.
“Dia Sasha pacar baruku. Oh ya, aku
belum mengenalkannya denganmu. Sasha sangat mengerti tentang aku dibanding
dengan dirimu. Satu hal yang harus kamu ketahui, aku bukan cowok bodoh yang mau
menemani kamu berjam-jam hanya untuk melihat senja bersama deburan laut.”
Ucapan Rangga seperti palu yang menghancurkan cermin hatiku. Berantakan dan
meninggalkan puzle yang tidak akan mungkin bisa disatukan kembali.
“Ja…di…” Aku kehabisan kata yang
akan kuucapkan. Tanpa mempedulikanku yang terpaku, Rangga berlalu dari
hadapanku dengan kemesraan baru yang diperlihatkannya.
“Rang, kamu tega melukis awan
mendung di mataku. Kamu membuat hujan tak akan berhenti. Kamu pembohong, Rang…”
Aku menangis tersendat-sendat. Rasanya aku ingin berteriak memanggil ombak
untuk membawaku pergi.
“Aaaaaa…” Jeritku histeris. Sorot
mata misterius menatapku tajam bak elang yang siap menerkam mangsanya. Aku
tidak peduli. Yang kuinginkan saat ini adalah meluapkan semua kekesalanku pada
cinta yang menggores luka.
Kenapa Tuhan memberi aku cinta yang
palsu? Tidak adakah lelaki yang mencintaiku seputih cintaku?
*
“Jingga, kamu harus tau itu. Nggak
semua lelaki yang menyukai hujan akan melukis tangis dalam hidupmu dan nggak
selamanya penggila senja sepertimu akan memberikan warna indah juga untuk
langit.”
“Terus menurutmu aku harus membuka
lagi perasaanku untuk orang yang sama. Membiarkan diriku disakiti dan terus
disakiti.” Suaraku sedikit meninggi. Ini kesekian kalinya aku berdebat panjang
dengan dirinya.
“Aku mencintaimu Jingga. Selamanya,
aku ingin kau menjadi milikku selalu, utuh. Tanpa ada tangan yang berani
mengusikmu…kecuali aku.”
“Maksudmu…” Aku menyadari setiap
kata demi kata yang diucapkannya. Apa aku harus mempercayainya? Kuakui ia
selalu menemaniku saat aku merasa bego dengan diriku sendiri. Ia akan hadir
jika aku sedang dipenjara oleh hujan.
“Aku sangat, sangat mencintaimu
Jingga. Kuharap kau akan menggores jinggamu setelah hujan bukan pelangi yang
diharapkan semua orang. Aku hanya ingin hujan menghiasi kebahagianmu, bukan
kesedihanmu,” ucapmu meninggalkanku dalam diam. Ada rasa sakit saat dia pergi.
Aku berharap dia akan menoleh dan berlari mendekapku. Tapi, dia terus saja
melangkah menjauhiku.
*
Sejak kejadian itu dia tidak pernah
lagi menampakkan batang hidungnya di hadapanku. Aku merasa bersalah karena
terus memojokkannya hanya karena masa laluku yang membuatku membenci hujan.
“Hujan, kemana dirimu? Aku
merindukanmu. Aku ingin kau di sampingku, mendekapku dalam dingin beku yang
merasuki, dan memberi warna setelahnya.”
Minggu, 18 November 2012
MB
Mengenang MB bersama Perahu Kertas
Akhirnya terwujud juga anganku untuk bisa kembali ke pantai. Meski hanya beberapa jam, aku bisa menghabiskan waktuku untuk mengenangmu sesaat, melihatmu dari celah-celah karang, mendengarmu dari deburan ombak. MB, tau tidak? Selepas itu aku merasaka menemukan hidupku kembali, menemukan semangat hidup lagi. Aku senang, aku bahagia, aku tak sedih lagi.
Perahu Kertas
Ombak terus berlari mengejarmu; pantai
Tak peduli jeritan karang yang meraung
Kulepaskan pesan dalam perahu kertas
Berharap menemukanmu di ujung cakrawala yang tak bertepi
Adakah rasa yang ingin kau utarakan?
Hingga kutak sanggup beranjak pergi
Kasih, ingatlah aku dalam pikirmu
Kenanglah aku dalam anganmu
Kecup aku dalam bisumu
Perahu kertas, pesan tak terbatas
Perbaungan, 10 November 2012
Akhirnya terwujud juga anganku untuk bisa kembali ke pantai. Meski hanya beberapa jam, aku bisa menghabiskan waktuku untuk mengenangmu sesaat, melihatmu dari celah-celah karang, mendengarmu dari deburan ombak. MB, tau tidak? Selepas itu aku merasaka menemukan hidupku kembali, menemukan semangat hidup lagi. Aku senang, aku bahagia, aku tak sedih lagi.
Perahu Kertas
Ombak terus berlari mengejarmu; pantai
Tak peduli jeritan karang yang meraung
Kulepaskan pesan dalam perahu kertas
Berharap menemukanmu di ujung cakrawala yang tak bertepi
Adakah rasa yang ingin kau utarakan?
Hingga kutak sanggup beranjak pergi
Kasih, ingatlah aku dalam pikirmu
Kenanglah aku dalam anganmu
Kecup aku dalam bisumu
Perahu kertas, pesan tak terbatas
Perbaungan, 10 November 2012
Aku menantimu membalas pesan
Atau sekedar berteriak memanggil namaku dalam gemuruh ombak
Lihat! aku menunggumu gelisah
Akankah Dia pertemukan kita lagi? Atau memisahkan kita pelan namun pasti
MB, kurentangkan tangan menanti dekapan hangatmu
Cairkan beku yang menggunung dalam rindu
Kupejamkan mata menunggu
Apa daya kau hanya bersiul merdu
Di atas sana bersama camar mengulum rindu
Cerpenku di Batak Pos "Dia Milikku", 17 November & 24 November 2012
Dia Milikku Bukan Milikmu
Oleh:
Ayu Ira Kurnia Marpaung
Suasana kelas XII-A sangat tegang.
Ada kericuhan antar siswa yang sedang berselisih hebat.
“Hei! Kamu seharusnya tau dia itu
milikku, bukan milikmu. Tapi, dengan gampangnya kamu ngambil dia dari hidupku.
Kamu punya hati gak sih.” Suara lembut Nina terdengar parau. Belum pernah seisi
kelas melihatnya bertengkar dengan sahabatnya sendiri. Nina adalah siswa
teladan sekaligus berprestasi di sekolahnya.
“Maaf Nin, aku gak bermaksud buat
ngambil dia dari kamu. Aku cuma…”
“Cuma apa? Cuma kebetulan gitu. Atau
kamu pura-pura gak tau kalau Gilang itu pacar aku,” Nina memotong ucapan Isma.
Terlihat dari sudut matanya ada cairan bening yang jatuh membasahi wajahnya.
Nina menangis dan berlari meninggalkan Isma.
“Nin, Nina tunggu aku!” Sayangnya
panggilan Isma tak digubris Nina. Ia terus berlari melewati koridor kelas tanpa
memperhatikan banyak mata yang memandangnya.
Buuukkk!
Nina menabrak seorang siswa, hingga
buku yang dibawanya jatuh berhamburan.
“Kalo jalan pake mata dong. Liat tuh
ulah kamu, bukuku jadi berantakan,” ucapnya kesal. Nina mendongkakkan wajahnya,
sesaat bibirnya mengucap kata “maaf” dan terus berlari.
“Loh, kok nangis sih. Apa aku
kelewatan ya negurnya? Jadi ngerasa bersalah nih,” ucapnya kebingungan. Masih
dengan tampangnya yang bingung ia terus memandangi Nina dari kejauhan.
“Hm…paling juga bertengkar dengan
pacanya,” gumannya cuek.
*
“Kamu tega, Is. Kenapa harus Gilang
yang kamu suka? Kenapa juga Gilang harus nerima kamu? Apa selama aku menjalani
hubungan dengannya, kalian udah pacaran backstreet
dariku? Oh my god, tolong aku.”
Rentetan pertanyaan menyerbu pikiran Nina.
“Apa yang harus aku lakukan? Isma
sahabat aku, Gilang orang yang kucinta. Aku benci mereka. Sangaat benciii.”
Pekik Nina di taman belakang sekolah.
“Ini tissu untukmu.” Nina menoleh ke
arah sumber suara yang mengusik ketenangannya.
“Kamu…” Suaranya tercekat di
tenggorokan. Ada benda yang menganjal hingga Nina tak sanggup melanjutkan
ucapannya.
“Iya, ini aku. Kenapa? Heran ya liat
aku bisa ada di sini. Kamu perlu tau, ini taman udah jadi tempat curhatku kalo
ada masalah,” terangnya menjelaskan apa yang ada di pikiran Nina.
“Makasih, Rif,” ucap Nina sembari
mengambil tissu dari Arifin.
Lama keduanya saling diam. Bermain
dengan pikiran dan imajinasi masing-masing. Hingga bel istirahat melengking
panjang, tanda waktunya masuk kelas. Mereka melempar senyum polos yang penuh dengan makna.
“Nin, kapan sih kamu akan ngerti
arti keberadaanku selama ini di sampingmu. Apa hanya Gilang dan Gilang yang bisa buat kamu bahagia,” guman Arifin.
*
“Nin, aku minta maaf. Aku gak
bermaksud nyakiti kamu. Jujur, sebenarnya aku udah pacaran dengan Isma sebulan
kita jadian. Tapi Isma gak mau nyakiti kamu, makanya kita nyembunyikan ini dari
kamu. Isma sayang sama kamu, dia gak mau liat kamu sedih liat hubungan kami
nantinya.”
“Terus ini apa! Ini lebih nyakitin
aku tau. Aku juga punya perasaan dan kamu tau aku malah berpikir kalo kamu itu
beneran sayang sama aku. Tapi apa! Semuanya busyit, cinta kamu ke aku cuma
palsu. Omong kosong, kalian jahat!” Suara Nina naik satu oktaf dari biasanya.
Rasa yang dimilikinya bukan lagi sayang, rindu, ataupun cinta melainkan rasa
benci yang sudah teramat busuk di hatinya.
“Nin, kamu gak boleh egois gini. Semua
ini kami lakukan untuk kamu!” Gilang tak mau kalah dengan Nina. Nina kaget
mendengar bentakan yang belum pernah ia terima sebelumnya.
“Kamu bilang aku egois. Oke! Kalo
kamu bilang gitu, sekarang enyah dari hadapanku dan jangan pernah coba hubungin
aku untuk kembali dengan kalian,” terang Nina menatap tajam Gilang.
“Oke! Kamu kira diri kamu siapa,”
balas Gilang sinis.
Nina terpaku. Ini bukan hal yang
biasa ia dapatkan dari cowok-cowok yang pernah jadi pasangannya. Nina mencoba
bertahan untuk tak menangis di depan Gilang. Ia tak mau terlihat cewek yang
lemah.
*
“Udah, lupain aja cowok kayak dia.
Sayang tau airmata kamu buat orang yang gak peduli lagi sama kamu. Mending
airmatanya buat aku aja,” goda Arifin.
“Ih, kamu apaan sih? Emangnya aku
gak boleh nangis buat orang yang pernah singgah di hati aku. Lagian kamu juga
gak rugi kok kalo airmataku habis,” balas Nina manja.
“Hahaha…” Keduanya saling tertawa
lepas. Nina tak sendiri lagi, kini ada Arifin yang selalu menemani dan
menjaganya. Ada rasa nyaman yang bergelayut dalam hati Nina saat berada dengan
Arifin. Apakah Nina mulai membuka hatinya kembali?
“Arif…” panggil Nina lembut.
“Hm…”
“Kamu janji ya, jangan ninggalin
aku. Soalnya teman dan pacar yang dulu kupunya udah tega mengkhianati aku. Aku
gak mau kamu kayak mereka, aku pengen kamu terus di samping aku. Nemani aku
jalani hidup ini dan ngisi kekosongan hari-hariku,” ucap Nina datar. Ia menatap
lurus ke depan seperti menerawang sesuatu yang ia pikirkan.
“Iya, aku janji demi kamu. Dan kamu
gak perlu takut untuk itu,” jawab Arifin cepat dan menatap mata bening Nina.
Senyum sumingrah terpancar di bibir mungil Nina. Perasaan haru terlihat dari
mata indahnya.
*
3
tahun kemudian
“Kenapa ini harus terjadi padaku?
Apa aku gak pantas bahagia dengan orang yang kucinta? Selalu saja ada orang
lain yang mengambilnya dariku,” batin Nina.
“Nin, maafkan aku untuk kedua
kalinya,” suara Isma bergetar. Ada rasa takut yang menyelimuti perasaannya.
“Is, apa sih salah aku sama kamu?
Kenapa kamu terus menghancurkan hubunganku. Pertama Gilang, kedua Arifin, terus
besok siapa lagi? Ajian apa yang kamu pake. Bisa-bisanya semua orang yang udah
jadi milikku beralih padamu,” ujarnya berang.
“Kamu gak salah apa-apa, Nin. Aku
yang salah. Entah mengapa aku merasa cemburu saat melihatmu dengan orang lain.
Aku gak bermaksud merusak kebahagianmu.”
“Cukup! Kamu gak perlu jelasin
apapun. Ini semua udah cukup buat aku ngerti,” ucapnya meninggalkan Isma untuk
sakit hati yang teramat.
“Kamu gak tau apa yang udah terjadi
sama aku, Nin. Maafkan aku…”
*
Nina masih bungkam seribu bahasa.
Sulit baginya untuk bisa mengutarakan apa yang ingin keluar dari mulutnya.
Perlahan Nina menghela napas panjang, mengumpulkan keberanian untuk berbicara.
“Apa! Kamu udah gila ya! Liat kamu
siapa dan aku siapa. Kamu pikir aku ini wanita apaan!”
“Tapi, aku sayang kamu. Aku cinta
sama kamu. Aku gak mau kamu punya hubungan khusus dengan orang lain. Sungguh,
aku benar-benar menyukaimu. Suara lembutmu, ucapanmu yang manja, dan harum
tubuhmu. Aku kangen itu.”
“Stop! Hentikan kata-katamu yang
menjijikkan itu. Kamu sadar kamu tuh siapa ISMA HARIANI. Kamu gak bisa
menyukaiku!”
“Kenapa? Gak ada yang bisa melarang
cinta kan? Ini alasanku selalu menghancurkan hubunganmu dengan mereka. Aku
cemburu, aku gak suka liat kamu mesra-mesraan dengan mereka. Aku…”
Plllaakk!
“Dan aku gak suka itu!”
Nina paham akan maksud yang
diutarakan sahabatnya. Sahabat, entahlah. Nina tak mengetahui arti sahabat bagi
dirinya. Nina merasa dirinya orang bodoh sedunia sampai gak menyadari keadaan
di sekitarnya, sahabatnya sendiri menyukainya dengan alasan konyol. Oh my god sadarkan dia, pintanya dalam
hati.
Langganan:
Postingan (Atom)