Senin, 16 Desember 2013

Adilkah?

Boleh kan aku cemburu? Ya, cemburu atas apa yang kulihat. Aku juga ingin dipeluk, dicium, dan di tanya "apa kabar?". Perlu aku pergi dari kehidupannya agar dia melakukannya untukku. Apa bedanya aku dengannya?


Rabu, 04 Desember 2013

Cerpen "Separuh Aku, Dirimu" Medan Bisnis

Alhamdulillah, sempat melupakan kalau pernah kirim ini cerpen. Cerpen yang kukirim 23 Oktober 2013 lalu, akhirnya dimuat minggu lalu. Senang sudah pasti. Benar kata Om DAN "Tulis, kirim, lupakan" itu akan membuatmu lebih semangat menulis dari pada menunggu. Cerpen "Separuh Aku, Dirimu" dimuat di Medan Bisnis edisi Minggu, 1 Desember 2013 rubrik Art & Culture.




Separuh Aku, Dirimu
Oleh : Ayu Ira Kurnia Marpaung

            “Kenapa masih di sini? Apa kau tak bosan hanya meratapi dirimu sendiri? Bukankah dari dulu sudah kukatakan, jangan mencintai anak sebrang dan miskin itu?”

            Aku melirik sinis arah suara yang baru saja membentakku. Ingin rasanya aku mendorong tubuhnya hingga jatuh dan tenggelam untuk selamanya. Kebencianku benar-benar sudah di atas ubun-ubun dan siap untuk diluapkan.

            “Dengar! Jika kau terus seperti ini. Aku tak segan mempercepat untuk melamarmu! Jangan pernah ingat lelaki pecundang seperti dia. Camkan itu!” Ancamnya membuatku semakin kesal.

            “Bukan urusanmu mengatur hidupku! Bukankah dirimu lebih pecundang dibanding dirinya? Kau hanya bisa mengandalkan harta dan harta. Bersembunyi di balik ketiak Ibumu!” Umpatku kesal.

            “Kau…,” suaranya tercekat dan hampir saja tanggannya melayang ke pipiku.

            “Apa?! Kau mau menamparku dan mengadu pada Ibuku? Silakan! Kau sama saja seperti anak kecil yang merengek meminta permen agar diam. Dengar ya, kau tak akan bisa memperlakukanku seperti wanitamu yang sudah-sudah,” aku menghentak geram melihat tampang bancinya.

Aku melongos pergi meninggalkannya menatap heran padaku. Tak kupedulikan panggilannya yang mencoba untuk merayu atau membujukku untuk meredam amarah yang sudah tak bisa kuelakkan lagi.

*

            “Aku akan datang melamarmu. Tapi tidak saat ini. Aku harus bekerja untuk bisa mengumpulkan uang yang cukup.”

            “Benarkah…” Ucapku berkaca-kaca.

            “Iya, Sayang. Aku tak mau Ibumu terus memojokkanku karena aku anak sebrang dan miskin. Ya, walau kebanyakan anak-anak di sana brutal dan sering buat onar. Tapi tidak untukku. Percayalah, aku akan berusaha meluluhkan hati Ibumu,” ucapmu lembut.

            Aku menghambur ke pelukanmu. Merasakan setiap getaran cinta yang semakin membentuk gelombang dasyat. Indah. Kata yang tidak henti-hentinya kuucapkan saat bersamamu. Menikmati senja, duduk di atas jembatan sambil menikmati deburan angin. Ah, ingin aku melakukan ini setiap saat. Menghirup aroma parfum bajumu dan merasakan detak jantungmu yang berdetak hebat.

*

            “Apa yang kau lakukan terhadapnya? Ia baik dan tulus mencintaimu. Tapi kau malah mengatainya pecundang. Ingat, dia sudah banyak membantu kita. Cobalah untuk bisa menerimanya. Jangan kunci hatimu untuk dia,” suara Ibu menggema dikeheningan malam.

            “Ibu, aku nggak bisa menerimanya. Apa Ibu rela melihat aku menikah tanpa rasa cinta? Apa Ibu sanggup melihatku menderita dalam ikatan suci? Dia tak sebaik yang Ibu pikirkan.” Aku mencoba membujuk Ibu agar berhenti memuji lelaki yang dianggapnya baik dan pemurah itu.

            “Diam!” Ibu membentakku, dan ini untuk pertama kalinya dalam hidupku. “Cinta dan cinta saja yang kau katakan. Setelah menikah kalian juga bisa saling mencintai. Dengar! Ibu tak mau lagi mendengar alasanmu untuk menolak niat baiknya melamar kau!” Masih dengan luapan amarahnya, Ibu membanting pintu kamarku dengan keras. Ia tak mempedulikan semua perasaanku yang diperjualbelikan oleh harta lelaki bajingan itu.

            “Ayah, andai saja kau masih ada. Pasti ada tempatku berlindung dan mengadu padamu. Tuhan, lancangkah hamba-Mu ini meminta kemurahan-Mu membukakan pintu hati Ibuku yang dibutakan oleh keadaan?” aku menahan tangis membenamkan kepalaku di bantal. Malam semakin larut dengan kesunyian yang menghiasi langit. Tanpa bintang dan sinar bulan yang mendampinginya. Aku terlelap dalam tidur dengan membawa beban hidup yang terlalu rumit.

*

            “Aku akan datang menemui Ibumu. Aku akan yakinkan Ibumu kalau orang sebrang tak semuanya bejat, dan aku akan beritahu Ibumu kalau diriku sudah bekerja untuk bisa memberimu nafkah kelak,” ucapmu lembut.

            Aku hanya menatapmu. Wajahmu begitu tenang. Dengan sigap kau tarik tanganku dan menyuruhku untuk menaiki sepeda motor. Hati-hati sekali kau mengendarainya.

            Sepanjang jembatan aku dan kau terus membisu. Tiba-tiba saja perasaan gelisah menyelinap dalam pikiranku. Semacam akan ada peristiwa yang akan menimpa kita. Ah, mungkin hanya perasaanku saja, gumanku lirih.

            Naas. Saat di ujung jembatan, sebuah truk pengangkut pasir datang tiba-tiba. Kontak kau gugup dan lepas kendali.

BBRRRAAAKK!!

            Tabrakan tidak bisa terhindar. Samar-samar kulihat kau meringis menahan sakit. Darah mengucur di dahi dan bagian kepalamu. Kurasakan sakit yang teramat pada tanganku yang terbentur keras pada sepeda motormu. Masih sempat kulihat banyak orang yang mengerumi kita dan mencoba membawa ke rumah sakit. Kepalaku semakin lama semakin berat dan pemandangan gelap seketika.

*

            “Sebulan lagi aku akan datang dan melamarmu. Ibumu sudah setuju. Kau tak bisa mengelak lagi,” ucapnya dengan senyum kemenangan. Aku diam membisu. Apa yang bisa kuperbuat sekarang. Ibu benar-benar menjualku dengan harta. Aku duduk lemas di sofa. Memandangi foto sepasang kekasih yang begitu mesra.

            “Tuhan tak adil. Setelah Ayah kau ambil dariku, kini orang yang akan membangun istana dalam puriku. Apa aku begitu hina hingga tak pantas mendapatkan kebahagian di dunia ini?” Aku terus menggerutu dengan perasaanku sendiri. Bajingan itu kini bisa tersenyum lepas melihat kemenangan di depan matanya.

*

            Kecelakaan itu harus membuatku kehilangan dirimu selamanya. Nyawamu tidak dapat tertolong lagi. Sedangkan aku hanya mengalami luka ringan saja. Kepergianmu bukan saja membuatku seperti kejatuhan reruntuhan langit, tapi hidupku kehilangan separuh nyawa.

            Kini, birunya langit tidak seindah dulu. Langit melukis mendung yang teramat. Hingga aku sendiri tidak mampu untuk menghapusnya.

Tuhan, haruskah cintaku berakhir tragis?! Kenapa Kau ambil orang yang kusayang saat hari bahagia itu akan datang menghampiriku? Aku lelah terus menerus disakiti oleh cinta. Tolong kembalikan dia padaku, rintihku pilu.

*

Penantian itu tiba.

            “Maafkan, Ibu. Ternyata ucapanmu benar adanya. Dia tak sebaik penampilannya. Maafkan Ibu yang sudah dibutakan oleh keadaan,” Ibu menangis memelukku dengan kasih bukan dengan kebencian yang selama ini kurasakan. Kubalas pelukannya dengan senyum bahagia. Dadaku tak sesak lagi saat memluknya. Kini cinta yang kupertanyakan kepada-Nya telah hadir. Cinta itu ada dipelukanku.

            “Syukurlah, Ibu sudah mengetahuinya. Ini alasanku kenapa selalu mengabaikan semua perasaannya padaku, Bu. Aku harap Ibu tak lagi memaksaku untuk menikah denganya. Apapun alasannya,” pintaku polos. Ibu mencium keningku. Ia menganggukkan kepala.

            Sebelum waktu yang dijanjikan tiba. Rudi, si pecundang tertangkap basah sedang mengedar narkoba dan sejenisnya. Akhirnya ia harus mempertanggungjawabkan semua kelakuannya dalam balik jeruji besi.

            Lega sudah semua perasaanku yang dulu terhimpit palu yang siap menghantamku. Kupandangin lagi jembatan itu, ya jembatan yang menghubungkan cintaku denganmu.

            “Rangga, perasaan ini tak akan pernah berubah. Aku percaya di surga kau membangun istana kita yang tertunda. Rangga, rasa ini masih seperti dulu dan selamanya akan seperti dulu. Karena separuh aku, dirimu.”

* END *


-           

Minggu, 01 Desember 2013

Resensi Cireng Forever

Bukan Cireng Biasa
Oleh: Ayu Ira Kurnia Marpaung

Judul:Cireng Forever
Penulis:Haris Firmansyah & Funny Team
Penerbit:de TEENS
Halaman:232
Cetakan:September 2013
Harga: Rp. 36.000,-

Apa yang terlintas saat membaca cover buku ini? Pasti nggak jauh dari makanan,bukan? Yups! Cireng adalah makanan khas Bandung. Cireng atau aci digoreng adalah makanan yang disukai mulai dari anak-anak sampai yang sudah tua. Sama seperti buku ini. Cireng di sini adalah warisan yang nilainya tak dapat dihitung.

Proses kesuksesan yang diperoleh Pak Solar dan keluarga tak lepas dari jatuh bangunsetiap usaha yang dilakukan. Mulai dari ide menjual bensin di samping SPBU,mendatangi Eyang Sumur untuk konsultasi, Tajudin merangkap buruh cuci motor keliling, menjual bakwan dan susu, dan terakhir membuka konter pulsa. Semuanya dilakukan untuk mengembalikan status ekonomi yang semakin hari bertambah tipis.

Tajudin harus rela berhenti sekolah untuk membantu usaha Pak Solar. Nadia, teman sekolahnya rela mengeluarkan beberapa lembar uang ratusan hanya untuk menolong Tajudin dan keluarga. Semuanya tak terlepas dari rasa sukanya pada Tajudin.

Semua usaha gatot alias gagal total. Hingga di titik kemiskinan. Pak Solar berniat membuka kotak warisan leluhurnya. Sayang, harapannya tak sesuai kenyataan. Isi kotak hanyalah selembar kertas lusuh berisi resep cireng isi. Siapa duga,sebuah resep bisa membuat hidup Pak Solar dan keluarga berubah tiga ratus delapan puluh derajat. Ibarat pepatah, Pak Solar kejatuhan durian runtuh.

Tajudinl upa diri. Ia melupakan Nadia hanya karena Hannah. Perjalanan cinta Tajudin dilema,sampai akhirnya ia meminta bantuan tim termehek-mehek untuk menemukan cinta sejatinya.

Perjalanan hidup, cinta, dan persaingan di susun secara kocak dalam novel ini. Sajian komedinya begitu pas dan tidak terlalu dipaksakan. Penulis tahu menyisipkan kejutan-kejutan diceritanya. Pemilihan cover juga menarik. Pesan moral dan nasehat-nasehat juga ada didalamnya.

Novel ini cocok banget disajikan sebagai camilan. Ibarat Cireng, novel ini penuhaneka rasa. Yang pasti rasa penasaran buat kamu memilikinya.

Resensi ini sempat diikutsertakan dalam ajang pemilihan Ambassador UNSA 2014. Meski kalah yang penting pengalamannya. :)

Hadiah GagasMedia

Benar-benar aneh. Kemaren dapat email katanya aku udah batal dapatin hadiahnya. Katanya karena telat ngirim alamat. Sempet sedih dan kecewa, tapi ya sudahlah. Eh pas lagi istirahat JNE datang ngantar hadiahnya. Aneh, tapi senang banget. Ada kertas bindernya lagi. Makasih Kak Hadi dan Gagas.


Selasa, 26 November 2013

Patah Hati

Patah hati itu sederhana. Saat aku menunggu kepulanganmu, kau malah membawa perempuan lain untuk kau jadikan pendamping hidupmu. Nyesek, tapi nggak seberapa. Saat kita saling berjanji menjaga cinta, orangtua malah melarang hanya karena status. Emang sebegitu pentingnya pangkat dan gelar ya. Buat apa pangkat dan gelar kalau rumah tangganya mirip kapal pecah.

Kamis, 14 November 2013

Maaf, Kak

Udah beberapa hari ini belum ngirim apapun sama Kak Hadi. Pasti dia marah banget karena aku ngaret kayak gini. Maaf, ya Kak. PLN kadang tak bersahabat denganku. Tulisan yang udah diketik berulang-ulang malah hilang karena PLN. T_T

Pengen Nangis

Pernikahan membuatku pengen nangis sepuasnya. Pengen masuk lorong waktu dan nggak mau nemuin dan jalani beberapa bulan dengannya bahkan mengenalnya. Nyesek banget! Itu alasan yang membuatku tetap seperti ini, tetap berada di titik ketakutan yang teramat. Belum lagi ditambah masa lalu dengannya yang belum bisa aku hadapi dan ikhlas sampai sekarang.

Selasa, 12 November 2013

Cendol Berduka

Tadi pagi, sebelum berangkat kerja kebiasaan buka-buka facebook dimulai lagi. Langsung kaget waktu baca postingan Bunda, mengabarkan kalau kak Kus Calvin (KOOR OPC) telah berpulang. Sedih rasanya. Aku mengenalnya lewat maya, sapanya. Semuanya begitu ramah dan nyata. Kak, ini kupersembahkan puisi sederhana untukmu. 

Untuk Sebuah Nama 
Kau datang ke rumah ini membawa cerita
hadirkan tawa dalam resah
Sesekali tanganmu merengkuh kami; menguatkan atas apa yang terjadi

Lalu, hujan menyapa pagi tadi
Kabarkan kau pergi tak kembali
Berpindah ke rumahNya; penuh wangian surga
Kami menangis, banjir sudah lantai kebersamaan
Kau pikir kami lupa satu hal?
Tidak!
Hadirmu tetap di sini
Menggenggam erat dalam gores pena
Ribuan doa, airmata, ikhlas mengiringi perjalananmu

TanjungBalai, 12112013

Untuk Kak Kus Calvin, Allah menyayangimu  Kami semua selalu merindukanmu.

Dia Itu Lucu

Aku mengenalnya lewat facebook. Hanya karena jempolku yang selalu muncul dinotifikasinya. Katanya aku aneh. Ya, keanehan yang membuatku bisa akrab dengannya, sampai sekarang. Hmm, semoga waktu dan jarak mempertemukan kami. Pengen jitak langsung orangnya. Hihiiii

Minggu, 10 November 2013

(Gagal) Move On

Udah kesekian kali, bahkan ratusan kali aku gagal move on. Niat udah, usaha udah, kok hasilnya nihil. Pengen nyerah di titik jenuh. Bosan juga lama-lama tetap berdiri di lingkaran yang sama.

Ramram bilang, aku masih sangat menyukainya. Sangat. Jujur kuakui itu benar adanya. Sumpah deh, beberapa minggu lalu, aku udah sempat move on. Bahkan aku udah nggak inget apa-apa lagi tentangnya. Tapi, lagi-lagi aku gagal. Begitu dia yang membantuku untuk move on pergi, langsung deh aku berputar ke belakang. Aneh, kan? Ya itulah aku. Sejuta galau, seribu kegagalan.Ini hanya tentang cerita cintaku, nggak lebih...

Tak Seperti Biasa

Kali ini aku benar-benar aneh. Belum pernah aku segugup ini, padahal hanya lewat maya. Ya, lewat maya. Tak bertatap langsung dengan mereka. Ya Rab, apa ini benar-benar sungguhan? Di dunia lain, teman saling mendukung, memberiku suntikan semangat yang hilang. Entahlah, aku sudah berusaha. Hasilnya, aku sudah terima apapun itu.

Temanku bilang, perangmu yang sesungguhnya adalah melawan rasa takut. Kalau sudah takut aku sudah kalah. Argghh, bukan aku jika harus menyerah kalah sebelum mencoba.

Kamis, 07 November 2013

Bingung

Ntah apa namanya, aku saja bingung. Sangking bingungnya, aku lupa dengan apa yang bisa kulakukan. Kalian tahu bagaimana posisi kalian mencintai orang yang nggak cinta sama kalian, atau dia hanya mengangggap kalian cuma "warung" persinggahan. Nyesek, kan?

Herannya kenapa harus kebanyakan hawa yang merasakan? Kadang mencintai seseorang yang menjual cinta kita ke orang lain, selingkuh. Apa bedanya denganku, menjalani hubungan yang seharusnya tak pernah kujalani. Aku memilih diam dan mencoba memahami apa kemauan hatiku. Maaf, kalau aku bersikap dingin akhir-akhir ini.

Jumat, 18 Oktober 2013

Masih Tentangmu

Aku masih mengharapkanmu. Terlalu bodoh untuk waktu bertahun-tahun lamanya. Inilah kenyataannya. Dirimu terlalu sulit dilupakan walau sedetik.

Jumat, 16 Agustus 2013

Lebaran Tanpa Ayah - Event LeutikaPrio


Lebaran Tanpa Ayah

Malam itu telah datang
Membawa sejuta senyum dari surgaNya
Aku terlelap
Berharap jemari kekarmu meraihku

Airmata yang terus menghujam ketika hari kemenangan itu tiba. Aku merindukan sosoknya. Sosok yang ingin kutatap, kupeluk, bahkan aku ingin bermanja di atas pangkuannya, Ayah. Entah berapa kali lebaran, aku selalu bersama Ibu dan keluarga lainnya. Tak pernah kutemui Ayah di dalam kebahagian kami. Aku tersudut. Kadang aku merasa Allah tak adil dalam hidupku. Ah, lagi-lagi aku hanya remaja polos yang haus akan rasa sayang dari Ayah.

“Nak, kok malah melamun? Lihat tuh teman-temannya pada pergi takbiran,” teguran lembut Ibu membuyarkan lamunanku tentang Ayah. Ada panas yang menggantung di ujung kelopak mataku. Tidak! Aku tak ingin Ibu melihat kesedihanku.

“Bentar lagi, Bu. Lagian belum ada yang jemput kok,” sahutku berusaha tegar. Ya, hanya itu satu-satunya cara mengelabui Ibu.

Sepeninggal Ibu, aku melihat foto Ayah bersama Kakek. Benda hangat itu akhirnya keluar tanpa perintahku. Ayah, aku rindu kamu. Ya Allah, kutitipkan setetes rindu untuknya.
 
“Kalau belum pergi, sebaiknya zakat dulu. Nanti kamunya kelupaan,” suara Ibu di balik dapur mengingatkanku. Aku mengangguk meski Ibu tak melihatku.
Meski di luar masih hujan, kukeluarkan sepeda motor. Membawa bungkusan hitam yang berisi zakat. Tak peduli dingin yang terus menusuk tulangku, kuperlambat laju sepeda motor yang kubawa. Di depan rumah yang begitu sederhana, kumatikan sepeda motor. Mengetuk pelan pintu rumah tanpa alat penerangan seperti lainnya.

Hatiku terenyuh saat pemilik rumah membukakan pintunya. Aku melihat kebahagianku di sana. Keluarga lengkap. Ada Ayah, Ibu, anak-anak yang lucu. Ah, kapan aku seperti mereka? Kapan aku benar-benar memiliki sosok Ayah? Kapan aku…? Tak seharusnya aku selalu mempertanyakannya. Jawabannya sudah jelas di mataku. Aku tak akan bertemu dengannya, kecuali kematian mempertemukan kami.

“Masuk, Nak,” ucap perempuan setengah baya itu mengagetkanku.

Buru-buru kesembunyikan wajah iriku padanya. Bergegas membayar zakat, seperti apa yang kuniatkan tadi. Tanpa menunggu lama, aku pamit pulang. Aku takut perasaanku tak terkendali melihat kebahagian mereka.
Gerimis masih menikamku. Kuputar arah untuk menuju tempat yang kurasa paling nyaman untuk menyendiri.

Allaahu akbar.. Allaahu akbar.. Allaahu akbar.....
Laa - ilaaha - illallaahu wallaahu akbar
Allaahu akbar walillaahil – hamd

Gema takbir di mana-mana. Aku tertunduk lesu. Tak kuhiraukan hiruk pikuknya kota yang mulai ramai dipadati kendaraan bermotor. Tak peduli gerimis, semuanya larut dalam kemenangan dalam sebulan Ramadhan, kecuali aku.

*

“Bu, aku minta maaf lahir batin. Jika selama ini aku selalu menyusahkan Ibu, buat Ibu marah dan kecewa. Maaf juga Bu, aku belum bisa beri kebahagian seperti yang Ibu berikan padaku. Di bulan Syawal ini, aku ingin Ibu memaafkan semua kesalahanku,” sungkemku seusai pulang shalat Id.

Kurasakan tubuh Ibu bergetar. Aku tahu, pasti Ibu menangis. Ibu pasti sedih. Semua anak-anaknya merantau dan tak ada yang kembali, kecuali aku. Tanpa kusadari, Ibu memelukku. Airmatanya membasahi jilbab yang kukenakan. Dadaku sesak. Maafkan aku Ibu, yang selalu mempertanyakan Ayah. Aku tahu, aku anak yang egois, ucapku dalam hati.

Ibu melepaskan pelukannya. Tak ada satu katapun yang terucap. Matanya mengisyaratkan kebahagian dan kesedihannya yang begitu dalam. Entah apa itu. Aku sendiri tak tahu. Ibu beranjak dari duduknya. Aku melangkah ke dapur. Di sana sudah tersaji lontong sayur khas lebaran, ketupat, kue lebaran, dan masih banyak lainnya.

Aku duduk di daun jendela kamar. Menatap lekat foto yang ada digenggaman tanganku. Ayah, lebaran ini masih sama. Sepi. Sampai kapan hatiku terus menolak kepergianmu. Aku belum ikhlas. Ayah, kapan lebaran ini terasa lengkap dengan hadirmu? Apa setiap lebaran aku hanya bisa melihat fotomu? Melihat kebisuan yang ada. Ayah, lebaran akan selalu sepi, meski beribu akan jutaan kebahagian ada di sini. Ayah, aku merindukanmu


 “Tulisan ini diikutkan dalam Tjerita Hari Raya yang diselenggarakan oleh @leutikaprio.”

Senin, 22 Juli 2013

CERIA (Cerita Ayu) 3

*Sambungan*

Sementara Nia mencoret-coret bukunya. Ia kesal setengah hidup. Bisa-bisanya Nizar tak paham dengan situasi ini.

"Lo ngambek sama gue? Huh! Baru cowok kayak gitu aja lo udah ngambek segala," sosor Nizar tiba-tiba.

Nia masih diam. Ia pura-pura tuli biar Nizar kesal dan pergi dari hadapannya. Namun, usahanya gagal. Nizar tetap saja ngerocos panjang lebar tanpa mikir kalau di depan banyak tikungan tajam.

"Mending lo cari cowok yang lebih baik aja deh daripada si Joe itu," usul Nizar.

"Emang lo pikir Joe itu anak ilang apa main cari-cari aja. Kenapa? Lo juga naksir sama dia. Hm... pantesan aja tadi langsung lengket kayak perangko," sahut Nia sinis.

"Jiaaahh, gue cemburu sama lo karena Joe. Nggak banget deh! Lo belum tau sih Joe kayak apa. Gini aja deh, daripada lo nuduh gue yang nggak-nggak, mending sekarang lo liat kelakuan si Joe," tarik Nizar paksa. Nia hampir saja jatuh tersungkur lagi. Nizar tak peduli. Nizar mirip orang yang tak sabar melihat harta karun.

"Tuh, liat!" tunjuk Nizar saat sampai di TKP.

Deg! Nia hampir saja jatuh pingsan melihat sang pujaan hatinya. Mulutnya menganga lebar, untung saja tak ada satu lebahpun atau lalat yang lewat. Kalau airmatanya jangan ditanya, Nizar sampai rela nampung airmatanya pakai baskom. Ngeri amat ya.

"Zar, gue nggak mimpi, kan?"

"Ih,lo bego atau bloon sih Nia. Jelas lo nggak tidur. Emang ada gitu tidur sambil jalan, kecuali lo tidur sambil ngigo."

Nia mempertajam penglihatannya setajam silet. Memastikan kalau yang dilihatnya benar-benar Joe, bukan orang yang mirip Joe atau kebetulan mirip.

"Astaga Joe, beneran gue nggak percaya.Ternyata lo..." Nia tak sanggup melanjutkan ucapannya. Makanya gue selaku penulis yang melanjutkannya. Ternyata Joe seorang homo, dan memilih mencintai sesama jenis dibanding lawan jenisnya.

*END*

Jumat, 19 Juli 2013

CERIA (Cerita Ayu) 2

Malu! Malu! Malu. Cuma itu yang terlintas saat kejadian siang tadi. Oke, sebut aja pelakunya Nia, cewek pendiam tapi menghanyutkan. Dan si cowok, panggil aja Joe.

"Kok bisa sih, lo jatuh samapi idungmu tambah mancung ke dalam," ledek Nizar.

"Huh! Dasar gotik. Ini mah udah dari sononya. Namanya juga curi-curi pandang. Gak mungkin kali aku lambai-lambai tangan sambil bilang miss u," sahut Nia kesal. Hampir saja lupa. Kenapa Nizar disebut gotik, pasti udah pada tahu jawabannya. Hihihi....

"Halah, alasan aja lo. Kalo naksir tinggal tembak aja susah amat. Emang sampe kapan lo mau jatuh bangun kayak gini cuma liat tampangnya. Mau sampe idung lo bener-bener nyungsep," lagi-lagi Nizar meledeknya.

"Sewot amat sih. Suka-suka gue dong. Mata-mata gue," balas Nia tak mau kalah.

Kalau udah gini bakalan ada perang dunia kesekian. Nggak bisa disebutin soalnya mereka udah acap kali perangnya, alias perang mulut.

"Gosipin gue ya..." Nia hampir saja kejang-kejang lihat sang pujaan hati nyamperin dia. Untung saja Nizar udah siapin benteng untuk itu.

"Pede amat digosipin. Si amat aja yang digosipin cuma diam," balas Nizar ngaco.

"Lo lucu banget sih. Gemesin tau."

Lucu! Gemesin! Nia terbakar cemburu. Kok bisa-bisanya Joe bilang Nizar lucu dan gemesin, padahal mendekati kata itu aja jauh banget. Sangking cembururnya, Nia nggak sadar kalau bibirnya udah monyong mirip Omas.

"Kenapa tuh bibir?" tanya Joe polos.

"Bodo! Gue balik dulu. Gerah banget di sini," jawabnya ngasal.

Joe bengong. Nggak biasanya Nia secuek ini. Pasti ada yang gak beres, guman Joe lirih.

"Zar, lo tau Nia kenapa? Apa gue ada salah ya?"

"Iya! Salah lo banyak amat." Lagi-lagi amat terus membanjiri kalimat Nizar.

"Loh, gue salah apa coba?"

"Mau tau aja atau mau tau banget nih," goda Nizar.

"Lo kepo banget sih. Tinggal kasih tau aja pake goda-goda gue segala."

"Idih, malah marah. Oke! Oke! Sebagai teman yang baik gue kasih tau nih. Salah lo itu sebenarnya cuma satu. Tapi dari satu berakar jadi dua, tiga, empat, sampai seterusnya."

"Rumit banget penjelasan lo. Udah mirip ngafal rumus fisika aja." Joe menggaruk kepalanya yang peuh ketombe.

"Hihi... Sori. Nia suka sama lo. Sangking sukanya dia sering jatuh gara-gara lo, kejedot tembok buat liat lo, yang lebih parahnya dia sampe kejebut got hanya liat lo. Parah banget, kan?"

"OMG! Segitunya..."

"Lo gimana sih, gue capek-capek cerita komennya cuma OMG. Gila! Masak iya teman gue naksir cowok yang tulalit kayak lo," serang Nizar blak-blakan.

Joe yang tadinya penasaran sekarang malah panas dingin. Gini nih, kalau ada cewek yangg naksir dia. Apalagi cewek itu Nia, teman sekolahnya yang paling jutek sama cowok. Melihat kondisi Joe, Nizar malah panik. Segala jenis obat tak ampuh.

"Dari pada gue disuruh jadi saksi, mending gue kabur dah."

*bersambung*

Puisi Sederhana Terbit di Radar Seni

Alhamdulillah, Ramadhan ini ada puisi sederhana yang dimuat di Radar Seni edisi 14 Juli 2013.
Selamat membaca ^_^


Stt… Pertiwi Sedang Tidur

Ranting kejujuran telah patah dari dahan
meninggalkan bekas tanpa jejak
Daun kehidupan kering; terbawa angin
berhenti pada titik kejenuhan
Akar kian tua, tak mampu menopang tubuhnya
Langit menangis
Bumi merajuk
Stt… Pertiwi sedang tidur
Terlelap dalam buai nyanyian kosong
Lalu, biarkan tangantangan kotor merusak isinya
Bebaskan tikus lalulalang
Hening…
Tinggal mimpi tak lagi nyata

Tanjung Balai, 10 Juli 2013


Perempuan Senja dan Lelaki Hujan

Aroma hujan bangkitkan gairah laut
bergemuruh menantang biru ke peraduan
Karang menjerit malafal mantra
Hadirkan senja pada kesunyian
Aku meringkuk; perempuan senja
Mencium basah di ujung jingga
Kau; lelaki hujan
Ciptakan tujuh warna menutupiku
Adalah kita satu raga
Ketika kau pergi, aku datang menunggu

Tanjung Balai, 10 Juli 2013


Lantunan Doa Untuk Ayah

Pagi ini fajar lebih dulu mengecup embun
Tak lupa belaian angin menyapa dedaunan
Rumah-Mu masih terlihat hening dan sepi
Hanya sesekali terdengar kicau burung merdu hilir mudik

Perlahan lututku bersandar pada gundukan tanah merah
Tanpa sadar beningan kristal lahir dari kelopak mata
Bibir terasa kelu melantunkan baris tiap baris do’a
Mataku sayu dengan tatapan nanar

Kutatap lagi puisi yang tertulis
Untuk menyampaikan seutas rindu dan cinta
Dalam sajak tak bergema
Kulantunkan kembali do’a untukmu

Tanjung Balai, 29 Mei 2013


Tentang Hati

Kegoisan saat nafsu terlalu memburu
Mengalahkan logika ; berimbas cemburu
Menyerupai belati menuai luka
Adalah kelembutan saat tersentuh rasa cinta
Tenang ; memeluk hangat meski dingin membeku
Adalah globe makhluk Ilahi
Hitam putih perjalanan hidup
Misteri ketika mata tertutup

Tanjung Balai, 6 Juli 2013



Sepotong Rindu

Tak ubah empedu
Tak lengkang oleh waktu
Hadirkan sepotong rindu dalam pagi menjelma

Tanjung Balai, 10 Juli 2013

 

Ayu Ira Kurnia Marpaung nama lengkap dari penulis. Beberapa karyanya berupa artikel, puisi dan cerpen pernah dimuat di Tabloid Gaul, Medan Bisnis, Batak Pos, Harian Waspada, C-Magz, Majalah Kiss, Asahan Post, Majalah Liberty, dan Majalah Frasa Online.
Aktif di dunia Kepenulisan Online Cendol dan Cermat untuk Wilayahnya. Jika ingin menyapanya lebih dekat dapat Add akun facebooknya di Ayuslalu43@yahoo.co.id atau twitter @AyuIraKurnia1.

Untuk lihat lebih lanjut silakan klik linknya. :)
 http://radarseni.com/2013/07/14/ayu-ira-kurnia-marpaung/

Senin, 15 Juli 2013

CERIA (Cerita Ayu) 1

Hari ini, aku kesal dengan diriku sendiri. Kenapa? Soalnya, ini pertama kalinya aku buka puasa lebih cepat dari waktunya. Huh! Sebel banget. Kenapa ya saat para setan dipenjara oleh Allah, kita malah bermusuhan dengan hawa nafsu. Emang nggak bisa ya kalo hawa nafsunya ikut dipenjarakan.

Jam 12 teng, kepalaku mulai nyut-nyutan. Nggak tau kenapa. Aku cuek aja. Dari pada tambah pusing mikirin kepala. Sebagian pekerja ada yang istirahat karena nggak puasa. Dalam hati, aku udah niat bakal tahan nih. Alhasil, jam 2 aku nggak sanggup ngerasain kepalaku yang nggak bisa diajak kompromi. rasanya lebih sakit dari ditusuk jarum, dipukul pake palu godam, dan lebih sakit dari pada diputusin pacar (emang ngaruh apa?). Diam-diam, ya nggak mungkin kan kalau aku teriak pake toak, aku keluard ari ruangan buat cari air minum. Udah berasa di padang pasir deh. Untung aja ketemu tuh galon buat bantu aku minum obat. Nggak butuh waktu lama, aku jalan pulang ke ruangan, maksudnya sih biar tuh mandor alias atasanku nggak curiga. Tau sendiri kalo tau anggotanya nggak puasa. Udah pasti idupku bakal kiamat. Serem banget dah.

Dan buat aku lebih kesel dan ngutuk diri sendiri, kami dipulangkan lebih cepat dari biasanya. Jam 16.00 cuuyyy. Apa nggak gila tuh? Mending tadi pusingnya bisa di pending, kan aku nggak harus batalin puasa cuma buat minum obat.

Penyesalan emang datang belakangan, sampae rumah aku cuma bisa cerita sama Ibu kalo aku udah nggak puasa. Tambah gondok liat menu buka puasa yang amat sangat aku sukai. Nyeseeellll pake banget deh, kalo boleh koprol aku udah koprol dari tadi.




Sabtu, 27 April 2013

Cerpen, "Sebuah Pengkhianatan" Terbit di Medan Bisnis, 24 Februari 2013

Akhirnya, ada juga cerpenku yang berhasil lolos di media satu ini. Media yang sudah lama ingin aku taklukkan. Apalagi kalau bukan Medan Bisnis. Cerpenku yang dimuat di edisi Minggu, 24 Februari 2013 di Rubrik Art and Culture..


Puisiku terbit di Harian Waspada, 17 Februari 2013

Puisiku di Koran Harian Waspada edisi Minggu, 17 Februari 2013.

Puisiku terbit di Asahan Post, 7 Januari 2013

Awal tahun yang super keren buat diirku. Kembali (lagi) puisiku hiasi koran Asahan Post edisi Senin, 7 Januari 2013




Puisi-puisi karya Ayu Ira Kurnia Marpaung

(1)
Hari Kita, Ibu
Ibu, baru saja dunia bersorak ria menyambut harimu
Tak hentinya mereka berkoar-koar menyanjungmu
Hingga suara mereka perlahan serak
Ibu, di bulan yang sama aku ingin bersorak jua
Lihat! Bulan ini kita menangis bersama
Saling meniup lima lilin di atasnya
Merayakan tiga hal istimewa sekaligus
Kelahiran seorang Ibu, anak, dan seluruh Ibu nusantara
Ibu, akhir tahun bukan akhir dari doaku dan doamu
Aku ingin selamanya memeluk tubuhmu, mencium aroma peluhmu, dan menggenggam mimpi kita bersama
Tanjung Balai, 24 Desember 2012


(2)
Setahun Yang Lalu
Ini cerita gadis mempertahankan cintanya
Meski harga diri telah dipertaruhkan
Hanya caci maki yang didapat
Ini cerita gadis bodoh yang dipermainkan oleh cinta
Rela disetubuhi meski ikatan suci belum terjalin
Kalian tahu? Dia gadis lugu yang diperbudak asa
Mencari ke sana kemari nikmatnya cinta
Pun tak bertemu, hingga jembatan jadi jawabannya
Ini cerita gadis malang setahun yang lalu
Tanjung Balai, 24 Desember 2012


(3)
Tahun Baru Tanpa Ayah
Tuhan, bagaimana kabar Ayah di sana?
Dia baik, kan?
Masih adakah senyumannya untukku hari ini?
Ayah, aku kangen pelukanmu yang meredam amarahku
Aku rindu akan semua tegurmu saat aku salah
Aku rindu tangis harumu saat satu persatu mimpi kuraih
Ayah…aku kangen
Album usang kini jadi temanku
Bersama Ibu kunikmati tahun baru ini
Tanpamu, tanpa canda, dan tanpa senyummu
Tanjung Balai, 24 Desember 2012







Majalah Liberty, "Rahasia Kalung Tunangan" 2013

Assalamualaikum, sahabat blogger's. Kali ini aku punya waktu untuk menempel karyaku (lagi) dalam madding pribadiku, apalagi kalau bukan blog setia. Nggak usah lama-lama langsung aja yaa. Ini cerpen hororku yang pertama di awal tahun 2013.

Cekidoottt!!!






Rahasia Kalung Tunangan
Oleh: Ayu Ira Kurnia Marpaung


            Di luar rintik hujan masih membasahi tanah. Sesekali gonggongan anjing tetangga menambah mencekamnya malam itu. Sementara dalam rumah erangan panjang masih saja keluar dari mulut Riana. Gadis berusia dua puluh satu tahun itu harus merasakan sakit yang aneh. Sudah beberapa dokter menanganinya, namun jawaban selalu sama, Riana tak menderita sakit apapun. Tentu saja Ibu dan keluarga Riana heran. Semenjak putusnya Riana dengan tunangannya, Safri, Riana selalu saja mengeluh sakit pada dadanya. Kadang Riana menjerit histeris, menangis, tertawa sendiri, bahkan membisu.

            “Anak Ibu terkena santet dari pihak lelaki. Mereka nggak terima dengan gagalnya pernikahan anak Ibu. Mereka ingin anak Ibu seperti ini, sampai nggak ada satu orangpun yang menyukai anak Ibu. Bisa dibilang, mereka ingin anak Ibu menjadi perawan tua,” tutur Pak Zuhri, orang pintar yang sengaja dipanggil Gugun, abang ipar Riana.

            “Maksudnya….” ucapan Ibu Riana terputus. Tenggorokannya tercekat. Prihatin melihat kondisi anak bungsunya. Apalagi setelah mendengar penuturan Pak Zuhri.

            “Iya, Bu. Anak Ibu harus segera diobati, semakin lama dibiarkan nyawa anak Ibu bisa melayang. Pihak lelaki juga menjadikan anak Ibu sebagai pemujaan,” lanjut Pak Zuhri.

            Airmata mengucur deras. Semua yang berkumpul menatap miris tubuh Riana yang kaku. Matanya membelakak, napasnya memburu, kakinya mengejang kaku. Mungkin tubuh Riana kesakitan saat ia mengejang-ngejang menghentakkan tubuhnya.

            “Riana, malang benar nasibmu, Nduk. Baru pertama kali merantau, kenal dia, terus tunangan, dan akhirnya putus sudah membuatmu menderita seperti ini. Gusti, salah apa anakku ini….?” isak Ibu tertahan.

            “Besok, cari bambu kuning, tebu hitam, dan benang merah. Kita harus buat dulu penangkal di rumah. Kalau tidak, mereka bisa terus-terusan mengirim santet ini. Kalian harus tahu, ini bukan sembarang ruh halus, tapi begunya hantu. Anak ini juga diikuti gendoruwo yang menyukai tubuhnya.” Suasana malam semakin larut dalam kesedihan. Riana belum juga sadar. Ayat-ayat Al-Qur’an hanya membuat Riana kesakitan. Tidak! Bukan Riana, tapi roh halus di dalam tubuhnya. Malam pekat diselimuti gerimis, membuat bulu kuduk merinding merasakan desiran angin.

            “Apa malam ini nggak bisa langsung dikerjakan, Pak? Kasihan Riana, dia pasti capek sekali.”

            “Bu, ini sudah sepertiga malam. Siapa yang mau nyari bambu dan tebu malam-malam gini? Malam ini, saya buatkan dulu penangkal sementara. Nanti anak Ibu akan sadar,” ujar Pak Zuhri menenangkan.

            Semua hanya mengangguk pasrah. Perlahan tubuh Riana lemas, sepertinya roh halus di tubuhnya sudah keluar. Malam ini tak ada satupun mata yang terpejam. Mereka was-was kalau Riana kerasukan kembali.

*
            “Maaaasss…aku sayang sama Mas. Maaaaasss…tunggu adek. Adek nggak mau sendirian. Adek mau nikah sama Maasss…” jerit Riana histeris. Tetangga mengkerumuni rumah Riana. Pak Zuhri dan anak wayangnya memulai ritual. Memanggil perewangan masing-masing. Riana masih terus berontak. Giginya terus saja berbunyi geram, matanya melotot. Tubuh Riana dingin seperti es. Malam itu, seperti tontonan gratis. Beberapa anak wayang mulai kerasukan perewangan masing-masing. Ada yang minta makan beling, ada yang menyerupai harimau, bahkan ada yang tingkahnya seperti monyet.

            “Maaaaaassss, adek ikuuttt samaa Maassss,” tangis Riana. Kemudian tubuh Riana lemas. Penagkal di pasang setiap sudut rumah. Entah roh mana yang masuk dalam tubuh Riana, mengungkap semua misteri.

            “Kembalikan kalung tunangannya. Kalung itu ada yang mengendalikan…”

            “Maksud kamu apa?” Pak Zuhri mencoba berkomunikasi dengan roh halus.

            “Kalung itu ada isinya. Seberapapun kalian buang ditubuhnya, kalung itu tetap mengikat lehernya. Kalung itu bisa membunuhnya, kalau nggak segera dipulangkan. Arghh…aku kasihan dengannya. Cepat pulangkan kalung itu atau tubuhnya akan ikut bersama tuanku…Arghhh…”

            “Astagfirullah…” semua keluarga tak ada yang percaya apa yang baru saja mereka dengar. Sementara di luar sana, salah seorang anak wayang muntah darah. Tubuh Riana kembali mengejang. Dengan cepat tangan Pak Zuhri membuka kalung yang melilit di leher Riana, dibantu dengan keluarga lainnya. Bukan hal yang mudah, Riana selalu saja menggagalkan dengan menggigit tangan mereka hingga membiru.

            Riana terus saja menggeluarkan kata-kata yang tak ada satu orangpun mengerti. Pak Zuhri terlihat lelah, usahanya membuka kalung yang melilit leher Riana belum juga berhasil. Sementara Pak Zuhri mengobati anak wayangnya yang terluka. Malam begitu cepat berlalu. Ini sudah tengah malam. Namun Riana masih terus saja menggeliat hebat.

            “Bu, sebelumnya anak Ibu pernah mengalami seperti ini?”

            “Belum, Pak. Selama ini, anak saya selalu sehat. Kalaupun sakit, hanya deman saja. Makanya saya kaget waktu dengar dia putus dengan tunangannya. Bukan itu saja, keluarga juga heran waktu Riana cerita kalungnya lepas dari leher, tapi pengkaitnya masih bersatu. Dari situ, pikiran saya sudah nggak enak. Riana, juga perlahan seperti orang bingung menyadari dirinya sudah tunangan,” tutur Ibu Riana.

            Pak Zuhri mengangguk-angguk mengerti. Pak Zuhri kembali berkonsentrasi. Membaca mantra-mantra dengan telapak tangan diletakkan di atas kening Riana. Kontak saja Riana menjerit histeris. Riana berteriak tubuhnya kepanasan, padahal malam ini sangat dingin. Tanpa ba-bi-bu lelaki yang ada di sana memegang Riana kuat-kuat, takut kalau mereka terpental. Pak Zuhri menyuruh salah seorang dari keluarga Riana untuk segera membuka kalung, dan memasukkannya dalam air yang sudah dibacakan ayat-ayat Al-Qur’an.

            Mulut Riana menganga lebar. Cairan kental keluar dari mulutnya. Cairan itu terus saja keluar sampai tubuh Riana lemas. Pak Zuhri beralih pada kalung yang ada dalam gelas. Membaca sebait doa, kemudian membungkusnya dengan kain putih.

            Sementara di rumah yang berbeda, Safri menggelepar seperti ayam potong. Lidahnya menjulur keluar dengan mata melotot.

Tinggalkan kritik dan saran. Untuk bisa diperbaiki di cerpen berikutnya. ^_^Selamat membaca