Airmata Langit
Oleh: Ayu Ira Kurnia Marpaung
"Lihat, Dila! Langitnya bersedih," teriak Nabil sambil berdiri di atas bukit hijau.
Tangannya menunjuk ke arah langit yang mulai tampak mendung.
Siang ini, Nabil mengajak Dila bermain di
atas bukit hijau, tidak jauh dari rumah kakek dan nenek. Sudah dua hari mereka
berlibur di sini.
"Ah,
bukan. Mana mungkin langit bersedih. Dia kan bukan manusia seperti kita," sahut Dila.
Nabil memajukan bibirnya mendengar ucapan Dila. Saudara
kembarnya itu selalu tidak percaya dengan ucapannya.
"Kamu
terlalu percaya kata Nenek," sambung Dila sambil mendekati Nabil.
"Mana kedua matanya, kalau langit bisa menangis?”
Nabil tidak menjawab pertanyaan Dila. Ia malah asyik
memperhatikan langit. Menurutnya kedua mata mata langiat adalah awan. Kalau
awan hitam, bertanda akan turun hujan.
“Tuh kan, kamu nggak tahu jawabannya,” Dila tertawa.
Tiktiktik.. tiba-tiba dari langit jatuh titik-titik
hujan. Semakin lama semakin banyak.
“Dil, ayo kita pulang!” teriak Nabil. Dila mengangguk.
Dua bocah perempuan sepuluh tahun itu dengan sekuat
tenaga berlari menuruni bukit. Sebentar saja, mereka sudah basaj kuyup.
“Aduh cucu-cucu Nenek. Kalian darimana?” sambut Nenek
khawatir di pintu rumah.
“Kami tadi bermain di atas bukit, Nek!” jawab Nabil.
Nenek mengeleng-gelengkan kepala. “Cepat kalian mandi
sebelum masuk angin!”
Nabil dan Dila bergegas mandi. Setelah mandi, mereka menemui
nenek di ruang tamu. Nenek sudah menyiapkan teh hangat dan sepiring pisang
goreng.
“Nek, masa Dila nggak percaya, kalau langit bisa
bersedih,” lapor Nabil lalu mencomot pisang goreng.
“Iya, aku nggak percaya, Nek!” tukas Dila
Nenek terkekeh hingga ompongnya terlihat. “Hujan adalah airmata langit. Biasanya, langit
bersedih karena melihat bumi tidak dijaga dan dirawat manusia dengan baik.
Bukankah Kakek selalu menasihati kalian untuk selalu menjaga lingkungan. Kalian tahu apa akibatnya kalau
langit terus menangis?"
Nabil dan Dila kompak menggeleng. Mereka tidak mengerti ucapan nenek.
"Kalau
langit tidak berhenti menangis, bumi akan kebanjiran. Kita akan tenggelam.
Tidak ada pohon-pohon untuk berpegangan. Harusnya kita menanam pohon yang
banyak supaya saat langit menangis, kita tidak hanyut terseret banjir,"
ucap Nenek.
"Kalau
langit masih menangis gimana, Nek?” tanya Nabil penasaran.
"Langit
bukan menangis karena sedih, tapi bahagia. Langit akan membantu kita menjaga
bumi agar tampak hijau, persis bukit tempat kita berdiri sekarang."
“Terus apa yang harus kita lakukan supaya
langit bisa menangis bahagia? Kita kan masih kecil, Nek” tanya Dila bingung.
Tangannya menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“Besok
kalian bantu Kakek menanam seribu pohon di kampung
ini. Bagaimana? Kalian mau?” Tiba- tiba kakek masuk ke ruang tamu. Ternyata Kakek sejak tadi mendengar
perbincangan nenek, Nabil dan Dila.
“Mau, Kek!” jawab Nabil dan Dila serempak.
*
Hari Minggu yang cerah. Nabil dan Dila sudah siap
dengan baju olahraga
dan sepatu sport. Rambut mereka dikuncir kuda. Kakek juga
sudah siap. Di halaman rumah sudah banyak pohon-pohon yang siap ditanam.
“Ayo, kita kumpul di rumah Pak Ridwan. Biar cepat pohonnya ditanam dan
kampung kita bebas bencana,” ucap kakek.
Nabil dan Dila mengangguk. Mereka berjalan penuh semangat.
Di sana sudah banyak warga yang kumpul. Banyak juga anak-anak
seusia Nabil dan Dila. Mereka juga ingin ikut menanam seribu pohon. Di mulai dari
rumah warga, satu persatu pohon di tanam.
Nabil dan Dila dan warga segera menanam
pohon. Mereka
tidak meperdulikan pakaian kotor. Semuanya bersemangat dan tidak kenal lelah.
Sudah hampir setengah hari mereka menanam pohon, tinggal beberapa pohon yang
belum ditanam.
“Lihat, langitnya mulai sedih lagi. Bukannya seharusnya dia
senang karena bumi akan hijau kembali,” teriak Dila.
“Langit tidak bersedih. Langit akan menurunkan hujan untuk membantu menyuburkan pohon yang baru kita tanam,” tukas
Nabil
Kali ini Dila mengangguk
setuju.