Minggu, 20 April 2014

Majalah Halo Nanda

Cernakku akhirnya mejeng juga meski di majalah online. "Airmata Langit" cernak pertama yang dimuat di Majalah Online edisi 27 Maret 2012.


Airmata Langit
Oleh: Ayu Ira Kurnia Marpaung


"Lihat, Dila! Langitnya bersedih," teriak Nabil sambil berdiri di atas bukit hijau. Tangannya menunjuk ke arah langit yang mulai tampak mendung.
Siang ini, Nabil mengajak Dila bermain di atas bukit hijau, tidak jauh dari rumah kakek dan nenek. Sudah dua hari mereka berlibur di sini.
"Ah, bukan. Mana mungkin langit bersedih. Dia kan bukan manusia seperti kita," sahut Dila.
Nabil memajukan bibirnya mendengar ucapan Dila. Saudara kembarnya itu selalu tidak percaya dengan ucapannya.
"Kamu terlalu percaya kata Nenek," sambung Dila sambil mendekati Nabil. "Mana kedua matanya, kalau langit bisa menangis?
Nabil tidak menjawab pertanyaan Dila. Ia malah asyik memperhatikan langit. Menurutnya kedua mata mata langiat adalah awan. Kalau awan hitam, bertanda akan turun hujan.
“Tuh kan, kamu nggak tahu jawabannya,” Dila tertawa.
Tiktiktik.. tiba-tiba dari langit jatuh titik-titik hujan. Semakin lama semakin banyak.
“Dil, ayo kita pulang!” teriak Nabil. Dila mengangguk.
Dua bocah perempuan sepuluh tahun itu dengan sekuat tenaga berlari menuruni bukit. Sebentar saja, mereka sudah basaj kuyup.
“Aduh cucu-cucu Nenek. Kalian darimana?” sambut Nenek khawatir di pintu rumah.
“Kami tadi bermain di atas bukit, Nek!” jawab Nabil.
Nenek mengeleng-gelengkan kepala. “Cepat kalian mandi sebelum masuk angin!”
Nabil dan Dila bergegas mandi. Setelah mandi, mereka menemui nenek di ruang tamu. Nenek sudah menyiapkan teh hangat dan sepiring pisang goreng.
“Nek, masa Dila nggak percaya, kalau langit bisa bersedih,” lapor Nabil lalu mencomot pisang goreng.
“Iya, aku nggak percaya, Nek!” tukas Dila
Nenek terkekeh hingga ompongnya terlihat. “Hujan adalah airmata langit. Biasanya, langit bersedih karena melihat bumi tidak dijaga dan dirawat manusia dengan baik. Bukankah Kakek selalu menasihati kalian untuk selalu menjaga lingkungan. Kalian tahu apa akibatnya kalau langit terus menangis?"
Nabil dan Dila kompak menggeleng.  Mereka tidak mengerti ucapan nenek.
"Kalau langit tidak berhenti menangis, bumi akan kebanjiran. Kita akan tenggelam. Tidak ada pohon-pohon untuk berpegangan. Harusnya kita menanam pohon yang banyak supaya saat langit menangis, kita tidak hanyut terseret banjir," ucap Nenek.
"Kalau langit masih menangis gimana, Nek?” tanya Nabil penasaran.
"Langit bukan menangis karena sedih, tapi bahagia. Langit akan membantu kita menjaga bumi agar tampak hijau, persis bukit tempat kita berdiri sekarang."
 “Terus apa yang harus kita lakukan supaya langit bisa menangis bahagia? Kita kan masih kecil, Nek” tanya Dila bingung. Tangannya menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“Besok kalian bantu Kakek  menanam seribu pohon di kampung ini. Bagaimana? Kalian mau? Tiba- tiba kakek masuk ke ruang tamu. Ternyata Kakek sejak tadi mendengar perbincangan nenek, Nabil dan Dila.
Mau, Kek!” jawab Nabil dan Dila serempak.
*
          Hari Minggu yang cerah. Nabil dan Dila sudah siap dengan baju olahraga dan sepatu sport. Rambut mereka dikuncir kuda. Kakek juga sudah siap. Di halaman rumah sudah banyak pohon-pohon yang siap ditanam.
          “Ayo, kita kumpul di rumah Pak Ridwan. Biar cepat pohonnya ditanam dan kampung kita bebas bencana,” ucap kakek.
          Nabil dan Dila mengangguk. Mereka berjalan penuh semangat. Di sana sudah banyak warga yang kumpul. Banyak juga anak-anak seusia Nabil dan Dila. Mereka juga ingin ikut menanam seribu pohon. Di mulai dari rumah warga, satu persatu pohon di tanam.
          Nabil dan Dila dan warga segera menanam pohon. Mereka tidak meperdulikan pakaian kotor. Semuanya bersemangat dan tidak kenal lelah. Sudah hampir setengah hari mereka menanam pohon, tinggal beberapa pohon yang belum ditanam.
          “Lihat, langitnya mulai sedih lagi. Bukannya seharusnya dia senang karena bumi akan hijau kembali,” teriak Dila.
          “Langit tidak bersedih. Langit akan menurunkan hujan untuk  membantu menyuburkan pohon yang baru kita tanam,” tukas Nabil
            Kali ini Dila mengangguk setuju.

 


Minggu, 13 April 2014

Majalah HAI

Alhamdulillah, sempat mikir nggak bakal bisa naklukkan majalah satu ini. Tapi..... Makasih buat kalain yang selalu ada saat aku jatuh.

Cerpen "Gue (Bukan) Playboy" terbit di Majalah HAI edisi 10/2014/XXXVIII

Gue (Bukan) PlayboyOleh: Ayu Ira KurniaMarpaung

"Pokoknya aku nggak sukaliat kamu deket-deket sama Vivie. Emang dia siapanya kamu sih, bela-belainbantu dia beresin gudang," cerocos Eki manyun.

"Kan bantu temen dapat pahala,Beb. Jangan cemburu gitu dong. Ntar nggak embem lagi tuh pipinya," rayuBana manja.

Eki cuma balas cemberut. Hatinyalagi dibakar api cemburu. Gimana nggak dongkol kalo liat pacar lagimesra-mesraan bareng musuh bebuyutan. Bana yang duduk disebelahnya cuma bisabengong. Huh! Bakalan jadi Bang Toyibnih, rutuknya. Kalo bukan Akbar yang membeberkan semuanya, nggak bakalperang dunia nih. Dasar Akbar ember!omel Bana kesal.

*

"Kalo udah punya satu cewek,jangan main tikung ke cewek lain, Bro. Tahu sendiri kalo si Eki cemburuan. Losendiri kenapa doyan sih sama dia. Udah gendut, item, kribo lagi," selaAkbar di kantin.

"Namanya juga cinta. Lagiangue juga nggak cakep-cakep amat. Mana mungkin berani suka sama cewek bening.Bisa-bisa gue diketawain. Lagian Eki itu tipe gue banget, anaknya asik dannggak bosenin," balas Bana sewot. 

Diseruputnya sampai kinclong es cendolyang ada dihadapannya. Rasa hausnya belum juga terobati perihal Eki yang masihmogok ngomong dengannya. Niat awal mau sidang Akbar perihal masalah kemarendipending karena disogok es cendol.

"Jangan nyerah dulu, Bro.Buktinya banyak cewek-cewek yang deketen lo. Vivie, Ita, Anggrek, Widia, itusemua cewek populer yang ngarep bisa jadi gebetan lo. Lonya aja pura-pura begoatau emang beneran bloon," Akbar menambahin omongannya.

Bana cuma bisa bertopang dagu.Pikirannya masih di satu titik, Eki. Biarpun orang bilang dia cewek aneh, tapiada satu kelebihan yang nggak dimiliki cewek lain, kepintarannya. Cowokcungkring ini mengaku bisa klepek-klepek karena habis diajarin Matematika danbesoknya langsung dapat nilai B plus. Dari situ Bana mulai simpati sama Eki.Cinta emang buta ya. Hihihii

“Biar kata orang cinta itu buta,bukan berarti lo harus buta milih calon pacar. Kalo gue sih amit-amit gitupacaran sama Eki. Biar tampang pas-pasan, gue masih milih-milih yang mau guejadiin pacar.” Mulut Akbar penuh makanan, sampai omongannya nggak jelas gitu.Makanannya berhambur ke sana-sini. Membuat Bana makin dongkol.

“Badan segede itu mau milih-milihpacar. Mimpi itu jangan ketinggian, kalo jatuh badan lo bisa kempes,” balasBana sewot.

Akbar cuma cengengesan. Belnyaring memekakkan telinga. Memaksa Bana dan Akbar meninggalkan kantin sebelumPak Lonyenk, guru horor itu masuk duluan. Bisa bener-bener hidup di nerakadibuatnya seharian penuh.

*
Ini udah seminggu dari Banamenyetujui untuk menarik perhatian cewek-cewek yang jadi target mereka. Banaberhasil membuat empat cewek populer nempel terus di sampingnya. Vivie selalusaja mengantarkan sarapan roti plus slai stoberi, Ita memberikan dengan sukarelawanuang sakunya setiap Bana kehabisan ongkos pulang naik angkot.  Anggrek selalu datang tepat pada waktunya,ketika Bana kesulitan mengerjakan pe-er Bahasa Indonesia menulis puisi. DanWidia, cewek kurus tinggi langsing ini tampak ikhlas memberikan senyuman mahalyang jarang diberikan kepada orang lain.

Sementara, Eki diwanti-wanti biarnggak liat pemandangan panas ini. Bisa kacau urusan percintaan. Padahal Banakasihan banget kalo Eki sampai diduain hanya karena fisik. Untungnya, sejakkejadian itu Eki jarang kelihatan. Mungkin lagi nyiapin bekal buat ikutanlomba. Maklum, jelek-jelek begitu Eki sering dapat prestasi dan mengharumkannama sekolah. Tapi bukan bunga kantil yaa, sereeemmm. Hiihiihii…

*

"Gimana Bro? Lo pilih yangmana untuk dijadikan pacar simpanan lo? Lumayan ‘kan bisa buat hari lo lebihberwarna. Biar nggak kusam terus," ujar Akbar selepas dari perpustakaan.

Bana cuma diam. Matanyamenerawang jauh. Entah apa yang dipikirkannya. Yang pasti cuma dia dan Tuhanyang tahu.

"Kok diam aja sih? Kenapa? Nggakpede? Emang sih, kalo diliat dari tampang lo nggak keren-keren banget, bukanketua OSIS, bukan kapten basket, nggak cool,tapi banyak cewek yang kepincut. Heran gue jadinya," Akbar menggarukkepalanya yang tak gatal.

"Tapi gue baik, Bro. Senangmembantu mereka sampai selesai tanpa pamrih," sahutnya asal.

"Nah, tunggu apa lagi.Pacarin aja salah satu dari mereka, kalo perlu semuannya," timpal Akbarsemangat.
Hening beberapa menit.

“Kok diam aja sih? Lo bengong apakesambet? Mikir kayak gini aja, udah mirip ngadapin ulangan Fisika,” sambungAkbar kesal.

 "Sebenarnya gue mau banget. Tapi guenggak bisa. Gue udah netepin hati gue buat Eki. Nggak peduli orang bilang apatentang dia, yang penting hatinya. Satu lagi, mungkin cewek yang kepincut samague karena gue bukan cowok playboy,"tandasnya akhirnya, membuat Akbar mati kutu. Percuma dong gue manas-manasin lo tiap hari. Gatot deh, alias gagaltotal,rutuk Akbar kecewa.