Senin, 16 Desember 2013

Adilkah?

Boleh kan aku cemburu? Ya, cemburu atas apa yang kulihat. Aku juga ingin dipeluk, dicium, dan di tanya "apa kabar?". Perlu aku pergi dari kehidupannya agar dia melakukannya untukku. Apa bedanya aku dengannya?


Rabu, 04 Desember 2013

Cerpen "Separuh Aku, Dirimu" Medan Bisnis

Alhamdulillah, sempat melupakan kalau pernah kirim ini cerpen. Cerpen yang kukirim 23 Oktober 2013 lalu, akhirnya dimuat minggu lalu. Senang sudah pasti. Benar kata Om DAN "Tulis, kirim, lupakan" itu akan membuatmu lebih semangat menulis dari pada menunggu. Cerpen "Separuh Aku, Dirimu" dimuat di Medan Bisnis edisi Minggu, 1 Desember 2013 rubrik Art & Culture.




Separuh Aku, Dirimu
Oleh : Ayu Ira Kurnia Marpaung

            “Kenapa masih di sini? Apa kau tak bosan hanya meratapi dirimu sendiri? Bukankah dari dulu sudah kukatakan, jangan mencintai anak sebrang dan miskin itu?”

            Aku melirik sinis arah suara yang baru saja membentakku. Ingin rasanya aku mendorong tubuhnya hingga jatuh dan tenggelam untuk selamanya. Kebencianku benar-benar sudah di atas ubun-ubun dan siap untuk diluapkan.

            “Dengar! Jika kau terus seperti ini. Aku tak segan mempercepat untuk melamarmu! Jangan pernah ingat lelaki pecundang seperti dia. Camkan itu!” Ancamnya membuatku semakin kesal.

            “Bukan urusanmu mengatur hidupku! Bukankah dirimu lebih pecundang dibanding dirinya? Kau hanya bisa mengandalkan harta dan harta. Bersembunyi di balik ketiak Ibumu!” Umpatku kesal.

            “Kau…,” suaranya tercekat dan hampir saja tanggannya melayang ke pipiku.

            “Apa?! Kau mau menamparku dan mengadu pada Ibuku? Silakan! Kau sama saja seperti anak kecil yang merengek meminta permen agar diam. Dengar ya, kau tak akan bisa memperlakukanku seperti wanitamu yang sudah-sudah,” aku menghentak geram melihat tampang bancinya.

Aku melongos pergi meninggalkannya menatap heran padaku. Tak kupedulikan panggilannya yang mencoba untuk merayu atau membujukku untuk meredam amarah yang sudah tak bisa kuelakkan lagi.

*

            “Aku akan datang melamarmu. Tapi tidak saat ini. Aku harus bekerja untuk bisa mengumpulkan uang yang cukup.”

            “Benarkah…” Ucapku berkaca-kaca.

            “Iya, Sayang. Aku tak mau Ibumu terus memojokkanku karena aku anak sebrang dan miskin. Ya, walau kebanyakan anak-anak di sana brutal dan sering buat onar. Tapi tidak untukku. Percayalah, aku akan berusaha meluluhkan hati Ibumu,” ucapmu lembut.

            Aku menghambur ke pelukanmu. Merasakan setiap getaran cinta yang semakin membentuk gelombang dasyat. Indah. Kata yang tidak henti-hentinya kuucapkan saat bersamamu. Menikmati senja, duduk di atas jembatan sambil menikmati deburan angin. Ah, ingin aku melakukan ini setiap saat. Menghirup aroma parfum bajumu dan merasakan detak jantungmu yang berdetak hebat.

*

            “Apa yang kau lakukan terhadapnya? Ia baik dan tulus mencintaimu. Tapi kau malah mengatainya pecundang. Ingat, dia sudah banyak membantu kita. Cobalah untuk bisa menerimanya. Jangan kunci hatimu untuk dia,” suara Ibu menggema dikeheningan malam.

            “Ibu, aku nggak bisa menerimanya. Apa Ibu rela melihat aku menikah tanpa rasa cinta? Apa Ibu sanggup melihatku menderita dalam ikatan suci? Dia tak sebaik yang Ibu pikirkan.” Aku mencoba membujuk Ibu agar berhenti memuji lelaki yang dianggapnya baik dan pemurah itu.

            “Diam!” Ibu membentakku, dan ini untuk pertama kalinya dalam hidupku. “Cinta dan cinta saja yang kau katakan. Setelah menikah kalian juga bisa saling mencintai. Dengar! Ibu tak mau lagi mendengar alasanmu untuk menolak niat baiknya melamar kau!” Masih dengan luapan amarahnya, Ibu membanting pintu kamarku dengan keras. Ia tak mempedulikan semua perasaanku yang diperjualbelikan oleh harta lelaki bajingan itu.

            “Ayah, andai saja kau masih ada. Pasti ada tempatku berlindung dan mengadu padamu. Tuhan, lancangkah hamba-Mu ini meminta kemurahan-Mu membukakan pintu hati Ibuku yang dibutakan oleh keadaan?” aku menahan tangis membenamkan kepalaku di bantal. Malam semakin larut dengan kesunyian yang menghiasi langit. Tanpa bintang dan sinar bulan yang mendampinginya. Aku terlelap dalam tidur dengan membawa beban hidup yang terlalu rumit.

*

            “Aku akan datang menemui Ibumu. Aku akan yakinkan Ibumu kalau orang sebrang tak semuanya bejat, dan aku akan beritahu Ibumu kalau diriku sudah bekerja untuk bisa memberimu nafkah kelak,” ucapmu lembut.

            Aku hanya menatapmu. Wajahmu begitu tenang. Dengan sigap kau tarik tanganku dan menyuruhku untuk menaiki sepeda motor. Hati-hati sekali kau mengendarainya.

            Sepanjang jembatan aku dan kau terus membisu. Tiba-tiba saja perasaan gelisah menyelinap dalam pikiranku. Semacam akan ada peristiwa yang akan menimpa kita. Ah, mungkin hanya perasaanku saja, gumanku lirih.

            Naas. Saat di ujung jembatan, sebuah truk pengangkut pasir datang tiba-tiba. Kontak kau gugup dan lepas kendali.

BBRRRAAAKK!!

            Tabrakan tidak bisa terhindar. Samar-samar kulihat kau meringis menahan sakit. Darah mengucur di dahi dan bagian kepalamu. Kurasakan sakit yang teramat pada tanganku yang terbentur keras pada sepeda motormu. Masih sempat kulihat banyak orang yang mengerumi kita dan mencoba membawa ke rumah sakit. Kepalaku semakin lama semakin berat dan pemandangan gelap seketika.

*

            “Sebulan lagi aku akan datang dan melamarmu. Ibumu sudah setuju. Kau tak bisa mengelak lagi,” ucapnya dengan senyum kemenangan. Aku diam membisu. Apa yang bisa kuperbuat sekarang. Ibu benar-benar menjualku dengan harta. Aku duduk lemas di sofa. Memandangi foto sepasang kekasih yang begitu mesra.

            “Tuhan tak adil. Setelah Ayah kau ambil dariku, kini orang yang akan membangun istana dalam puriku. Apa aku begitu hina hingga tak pantas mendapatkan kebahagian di dunia ini?” Aku terus menggerutu dengan perasaanku sendiri. Bajingan itu kini bisa tersenyum lepas melihat kemenangan di depan matanya.

*

            Kecelakaan itu harus membuatku kehilangan dirimu selamanya. Nyawamu tidak dapat tertolong lagi. Sedangkan aku hanya mengalami luka ringan saja. Kepergianmu bukan saja membuatku seperti kejatuhan reruntuhan langit, tapi hidupku kehilangan separuh nyawa.

            Kini, birunya langit tidak seindah dulu. Langit melukis mendung yang teramat. Hingga aku sendiri tidak mampu untuk menghapusnya.

Tuhan, haruskah cintaku berakhir tragis?! Kenapa Kau ambil orang yang kusayang saat hari bahagia itu akan datang menghampiriku? Aku lelah terus menerus disakiti oleh cinta. Tolong kembalikan dia padaku, rintihku pilu.

*

Penantian itu tiba.

            “Maafkan, Ibu. Ternyata ucapanmu benar adanya. Dia tak sebaik penampilannya. Maafkan Ibu yang sudah dibutakan oleh keadaan,” Ibu menangis memelukku dengan kasih bukan dengan kebencian yang selama ini kurasakan. Kubalas pelukannya dengan senyum bahagia. Dadaku tak sesak lagi saat memluknya. Kini cinta yang kupertanyakan kepada-Nya telah hadir. Cinta itu ada dipelukanku.

            “Syukurlah, Ibu sudah mengetahuinya. Ini alasanku kenapa selalu mengabaikan semua perasaannya padaku, Bu. Aku harap Ibu tak lagi memaksaku untuk menikah denganya. Apapun alasannya,” pintaku polos. Ibu mencium keningku. Ia menganggukkan kepala.

            Sebelum waktu yang dijanjikan tiba. Rudi, si pecundang tertangkap basah sedang mengedar narkoba dan sejenisnya. Akhirnya ia harus mempertanggungjawabkan semua kelakuannya dalam balik jeruji besi.

            Lega sudah semua perasaanku yang dulu terhimpit palu yang siap menghantamku. Kupandangin lagi jembatan itu, ya jembatan yang menghubungkan cintaku denganmu.

            “Rangga, perasaan ini tak akan pernah berubah. Aku percaya di surga kau membangun istana kita yang tertunda. Rangga, rasa ini masih seperti dulu dan selamanya akan seperti dulu. Karena separuh aku, dirimu.”

* END *


-           

Minggu, 01 Desember 2013

Resensi Cireng Forever

Bukan Cireng Biasa
Oleh: Ayu Ira Kurnia Marpaung

Judul:Cireng Forever
Penulis:Haris Firmansyah & Funny Team
Penerbit:de TEENS
Halaman:232
Cetakan:September 2013
Harga: Rp. 36.000,-

Apa yang terlintas saat membaca cover buku ini? Pasti nggak jauh dari makanan,bukan? Yups! Cireng adalah makanan khas Bandung. Cireng atau aci digoreng adalah makanan yang disukai mulai dari anak-anak sampai yang sudah tua. Sama seperti buku ini. Cireng di sini adalah warisan yang nilainya tak dapat dihitung.

Proses kesuksesan yang diperoleh Pak Solar dan keluarga tak lepas dari jatuh bangunsetiap usaha yang dilakukan. Mulai dari ide menjual bensin di samping SPBU,mendatangi Eyang Sumur untuk konsultasi, Tajudin merangkap buruh cuci motor keliling, menjual bakwan dan susu, dan terakhir membuka konter pulsa. Semuanya dilakukan untuk mengembalikan status ekonomi yang semakin hari bertambah tipis.

Tajudin harus rela berhenti sekolah untuk membantu usaha Pak Solar. Nadia, teman sekolahnya rela mengeluarkan beberapa lembar uang ratusan hanya untuk menolong Tajudin dan keluarga. Semuanya tak terlepas dari rasa sukanya pada Tajudin.

Semua usaha gatot alias gagal total. Hingga di titik kemiskinan. Pak Solar berniat membuka kotak warisan leluhurnya. Sayang, harapannya tak sesuai kenyataan. Isi kotak hanyalah selembar kertas lusuh berisi resep cireng isi. Siapa duga,sebuah resep bisa membuat hidup Pak Solar dan keluarga berubah tiga ratus delapan puluh derajat. Ibarat pepatah, Pak Solar kejatuhan durian runtuh.

Tajudinl upa diri. Ia melupakan Nadia hanya karena Hannah. Perjalanan cinta Tajudin dilema,sampai akhirnya ia meminta bantuan tim termehek-mehek untuk menemukan cinta sejatinya.

Perjalanan hidup, cinta, dan persaingan di susun secara kocak dalam novel ini. Sajian komedinya begitu pas dan tidak terlalu dipaksakan. Penulis tahu menyisipkan kejutan-kejutan diceritanya. Pemilihan cover juga menarik. Pesan moral dan nasehat-nasehat juga ada didalamnya.

Novel ini cocok banget disajikan sebagai camilan. Ibarat Cireng, novel ini penuhaneka rasa. Yang pasti rasa penasaran buat kamu memilikinya.

Resensi ini sempat diikutsertakan dalam ajang pemilihan Ambassador UNSA 2014. Meski kalah yang penting pengalamannya. :)

Hadiah GagasMedia

Benar-benar aneh. Kemaren dapat email katanya aku udah batal dapatin hadiahnya. Katanya karena telat ngirim alamat. Sempet sedih dan kecewa, tapi ya sudahlah. Eh pas lagi istirahat JNE datang ngantar hadiahnya. Aneh, tapi senang banget. Ada kertas bindernya lagi. Makasih Kak Hadi dan Gagas.