Separuh
Aku, Dirimu
Oleh : Ayu Ira Kurnia Marpaung
Oleh : Ayu Ira Kurnia Marpaung
“Kenapa masih di sini? Apa kau tak
bosan hanya meratapi dirimu sendiri?
Bukankah dari dulu sudah kukatakan, jangan mencintai anak sebrang dan miskin
itu?”
Aku melirik sinis arah suara yang
baru saja membentakku. Ingin rasanya aku mendorong tubuhnya hingga jatuh dan
tenggelam untuk selamanya. Kebencianku benar-benar sudah di atas ubun-ubun dan
siap untuk diluapkan.
“Dengar! Jika kau terus seperti ini.
Aku tak segan mempercepat untuk melamarmu! Jangan pernah ingat lelaki pecundang
seperti dia. Camkan itu!” Ancamnya membuatku semakin kesal.
“Bukan urusanmu mengatur hidupku!
Bukankah dirimu lebih pecundang dibanding dirinya? Kau hanya bisa mengandalkan harta dan
harta. Bersembunyi di balik ketiak Ibumu!” Umpatku kesal.
“Kau…,” suaranya tercekat dan hampir
saja tanggannya melayang ke pipiku.
“Apa?! Kau mau menamparku dan mengadu pada
Ibuku? Silakan! Kau
sama saja seperti anak kecil yang merengek meminta permen agar diam. Dengar ya, kau tak akan bisa memperlakukanku
seperti wanitamu
yang sudah-sudah,” aku menghentak geram melihat tampang bancinya.
Aku
melongos pergi meninggalkannya menatap heran padaku. Tak kupedulikan
panggilannya yang mencoba untuk merayu atau membujukku untuk meredam amarah
yang sudah tak bisa kuelakkan lagi.
*
“Aku akan datang melamarmu. Tapi
tidak saat ini. Aku harus bekerja untuk bisa mengumpulkan uang yang cukup.”
“Benarkah…” Ucapku berkaca-kaca.
“Iya, Sayang. Aku tak mau Ibumu terus
memojokkanku karena aku anak sebrang dan miskin. Ya, walau kebanyakan anak-anak
di sana brutal dan sering buat onar. Tapi tidak untukku. Percayalah, aku akan
berusaha meluluhkan hati Ibumu,” ucapmu lembut.
Aku menghambur ke pelukanmu. Merasakan
setiap getaran cinta yang semakin membentuk gelombang dasyat. Indah. Kata yang
tidak henti-hentinya kuucapkan saat bersamamu. Menikmati senja, duduk di atas
jembatan sambil menikmati deburan angin. Ah, ingin aku melakukan ini setiap
saat. Menghirup aroma parfum bajumu dan merasakan detak jantungmu yang berdetak
hebat.
*
“Apa yang kau lakukan terhadapnya? Ia baik dan tulus
mencintaimu. Tapi kau malah mengatainya pecundang. Ingat, dia sudah banyak
membantu kita. Cobalah untuk bisa menerimanya. Jangan kunci hatimu untuk dia,”
suara Ibu menggema dikeheningan malam.
“Ibu, aku nggak bisa menerimanya.
Apa Ibu rela melihat aku menikah tanpa rasa cinta? Apa Ibu sanggup melihatku
menderita dalam ikatan suci? Dia tak sebaik yang Ibu pikirkan.” Aku mencoba
membujuk Ibu agar berhenti memuji lelaki yang dianggapnya baik dan pemurah itu.
“Diam!” Ibu membentakku, dan ini
untuk pertama kalinya dalam hidupku. “Cinta dan cinta saja yang kau katakan.
Setelah menikah kalian juga bisa saling mencintai. Dengar! Ibu tak mau lagi
mendengar alasanmu untuk menolak niat baiknya melamar kau!” Masih dengan luapan
amarahnya, Ibu membanting pintu kamarku dengan keras. Ia tak mempedulikan semua
perasaanku yang diperjualbelikan oleh harta lelaki bajingan itu.
“Ayah, andai saja kau masih ada.
Pasti ada tempatku berlindung dan mengadu padamu. Tuhan, lancangkah hamba-Mu ini meminta kemurahan-Mu membukakan pintu hati Ibuku yang
dibutakan oleh keadaan?”
aku menahan tangis membenamkan kepalaku di bantal. Malam semakin larut dengan
kesunyian yang menghiasi langit. Tanpa bintang dan sinar bulan yang
mendampinginya. Aku terlelap dalam tidur dengan membawa beban hidup yang
terlalu rumit.
*
“Aku akan datang menemui Ibumu. Aku
akan yakinkan Ibumu kalau orang sebrang tak semuanya bejat, dan aku akan
beritahu Ibumu kalau diriku sudah bekerja untuk bisa memberimu nafkah kelak,”
ucapmu lembut.
Aku hanya menatapmu. Wajahmu begitu
tenang. Dengan sigap kau tarik tanganku dan menyuruhku untuk menaiki sepeda
motor. Hati-hati sekali kau mengendarainya.
Sepanjang jembatan aku dan kau terus
membisu. Tiba-tiba saja perasaan gelisah menyelinap dalam pikiranku. Semacam
akan ada peristiwa yang akan menimpa kita. Ah,
mungkin hanya perasaanku saja, gumanku lirih.
Naas. Saat di ujung jembatan, sebuah
truk pengangkut pasir datang tiba-tiba. Kontak kau gugup dan lepas kendali.
Tabrakan tidak bisa terhindar.
Samar-samar kulihat kau meringis menahan sakit. Darah mengucur di dahi dan
bagian kepalamu. Kurasakan sakit yang teramat pada tanganku yang terbentur
keras pada sepeda motormu. Masih sempat kulihat banyak orang yang mengerumi
kita dan mencoba membawa ke rumah sakit. Kepalaku semakin lama semakin berat
dan pemandangan gelap seketika.
“Sebulan lagi aku akan datang dan
melamarmu. Ibumu sudah setuju. Kau tak bisa mengelak lagi,” ucapnya dengan
senyum kemenangan. Aku diam membisu. Apa yang bisa kuperbuat sekarang. Ibu
benar-benar menjualku dengan harta. Aku duduk lemas di sofa. Memandangi foto
sepasang kekasih yang begitu mesra.
“Tuhan tak adil. Setelah Ayah kau
ambil dariku,
kini orang yang akan membangun istana
dalam puriku. Apa aku begitu hina hingga tak pantas mendapatkan kebahagian di
dunia ini?” Aku terus menggerutu dengan perasaanku sendiri. Bajingan itu kini
bisa tersenyum lepas melihat kemenangan di depan matanya.
*
Kecelakaan itu harus membuatku
kehilangan dirimu selamanya. Nyawamu tidak dapat tertolong lagi. Sedangkan aku hanya mengalami luka ringan saja.
Kepergianmu bukan saja membuatku seperti kejatuhan reruntuhan langit, tapi hidupku kehilangan separuh
nyawa.
Kini, birunya langit tidak seindah
dulu. Langit melukis mendung yang teramat. Hingga aku sendiri tidak mampu untuk
menghapusnya.
Tuhan, haruskah cintaku berakhir
tragis?!
Kenapa Kau
ambil orang yang kusayang saat hari bahagia itu akan datang menghampiriku? Aku
lelah terus menerus disakiti oleh cinta. Tolong kembalikan dia padaku,
rintihku pilu.
*
Penantian
itu tiba.
“Maafkan, Ibu. Ternyata ucapanmu
benar adanya. Dia tak sebaik penampilannya. Maafkan Ibu yang sudah dibutakan
oleh keadaan,” Ibu menangis memelukku dengan kasih bukan dengan kebencian yang
selama ini kurasakan. Kubalas pelukannya dengan senyum bahagia. Dadaku tak
sesak lagi saat memluknya. Kini cinta yang kupertanyakan kepada-Nya telah hadir. Cinta itu ada
dipelukanku.
“Syukurlah, Ibu sudah mengetahuinya.
Ini alasanku kenapa selalu mengabaikan semua perasaannya padaku, Bu. Aku harap
Ibu tak lagi memaksaku untuk menikah denganya. Apapun alasannya,” pintaku
polos. Ibu mencium keningku. Ia menganggukkan kepala.
Sebelum waktu yang dijanjikan tiba.
Rudi, si pecundang tertangkap basah sedang mengedar narkoba dan sejenisnya.
Akhirnya ia harus mempertanggungjawabkan semua kelakuannya dalam balik jeruji
besi.
Lega sudah semua perasaanku yang
dulu terhimpit palu yang siap menghantamku. Kupandangin lagi jembatan itu, ya
jembatan yang menghubungkan cintaku denganmu.
“Rangga, perasaan ini tak akan
pernah berubah. Aku percaya di surga kau membangun istana kita yang tertunda.
Rangga, rasa ini masih seperti dulu dan selamanya akan seperti dulu. Karena
separuh aku, dirimu.”
* END *
-
Jangan sungkan untuk meninggalkan kritik dan saran. ^_^
BalasHapus