Dia Milikku Bukan Milikmu
Oleh:
Ayu Ira Kurnia Marpaung
Suasana kelas XII-A sangat tegang.
Ada kericuhan antar siswa yang sedang berselisih hebat.
“Hei! Kamu seharusnya tau dia itu
milikku, bukan milikmu. Tapi, dengan gampangnya kamu ngambil dia dari hidupku.
Kamu punya hati gak sih.” Suara lembut Nina terdengar parau. Belum pernah seisi
kelas melihatnya bertengkar dengan sahabatnya sendiri. Nina adalah siswa
teladan sekaligus berprestasi di sekolahnya.
“Maaf Nin, aku gak bermaksud buat
ngambil dia dari kamu. Aku cuma…”
“Cuma apa? Cuma kebetulan gitu. Atau
kamu pura-pura gak tau kalau Gilang itu pacar aku,” Nina memotong ucapan Isma.
Terlihat dari sudut matanya ada cairan bening yang jatuh membasahi wajahnya.
Nina menangis dan berlari meninggalkan Isma.
“Nin, Nina tunggu aku!” Sayangnya
panggilan Isma tak digubris Nina. Ia terus berlari melewati koridor kelas tanpa
memperhatikan banyak mata yang memandangnya.
Buuukkk!
Nina menabrak seorang siswa, hingga
buku yang dibawanya jatuh berhamburan.
“Kalo jalan pake mata dong. Liat tuh
ulah kamu, bukuku jadi berantakan,” ucapnya kesal. Nina mendongkakkan wajahnya,
sesaat bibirnya mengucap kata “maaf” dan terus berlari.
“Loh, kok nangis sih. Apa aku
kelewatan ya negurnya? Jadi ngerasa bersalah nih,” ucapnya kebingungan. Masih
dengan tampangnya yang bingung ia terus memandangi Nina dari kejauhan.
“Hm…paling juga bertengkar dengan
pacanya,” gumannya cuek.
*
“Kamu tega, Is. Kenapa harus Gilang
yang kamu suka? Kenapa juga Gilang harus nerima kamu? Apa selama aku menjalani
hubungan dengannya, kalian udah pacaran backstreet
dariku? Oh my god, tolong aku.”
Rentetan pertanyaan menyerbu pikiran Nina.
“Apa yang harus aku lakukan? Isma
sahabat aku, Gilang orang yang kucinta. Aku benci mereka. Sangaat benciii.”
Pekik Nina di taman belakang sekolah.
“Ini tissu untukmu.” Nina menoleh ke
arah sumber suara yang mengusik ketenangannya.
“Kamu…” Suaranya tercekat di
tenggorokan. Ada benda yang menganjal hingga Nina tak sanggup melanjutkan
ucapannya.
“Iya, ini aku. Kenapa? Heran ya liat
aku bisa ada di sini. Kamu perlu tau, ini taman udah jadi tempat curhatku kalo
ada masalah,” terangnya menjelaskan apa yang ada di pikiran Nina.
“Makasih, Rif,” ucap Nina sembari
mengambil tissu dari Arifin.
Lama keduanya saling diam. Bermain
dengan pikiran dan imajinasi masing-masing. Hingga bel istirahat melengking
panjang, tanda waktunya masuk kelas. Mereka melempar senyum polos yang penuh dengan makna.
“Nin, kapan sih kamu akan ngerti
arti keberadaanku selama ini di sampingmu. Apa hanya Gilang dan Gilang yang bisa buat kamu bahagia,” guman Arifin.
*
“Nin, aku minta maaf. Aku gak
bermaksud nyakiti kamu. Jujur, sebenarnya aku udah pacaran dengan Isma sebulan
kita jadian. Tapi Isma gak mau nyakiti kamu, makanya kita nyembunyikan ini dari
kamu. Isma sayang sama kamu, dia gak mau liat kamu sedih liat hubungan kami
nantinya.”
“Terus ini apa! Ini lebih nyakitin
aku tau. Aku juga punya perasaan dan kamu tau aku malah berpikir kalo kamu itu
beneran sayang sama aku. Tapi apa! Semuanya busyit, cinta kamu ke aku cuma
palsu. Omong kosong, kalian jahat!” Suara Nina naik satu oktaf dari biasanya.
Rasa yang dimilikinya bukan lagi sayang, rindu, ataupun cinta melainkan rasa
benci yang sudah teramat busuk di hatinya.
“Nin, kamu gak boleh egois gini. Semua
ini kami lakukan untuk kamu!” Gilang tak mau kalah dengan Nina. Nina kaget
mendengar bentakan yang belum pernah ia terima sebelumnya.
“Kamu bilang aku egois. Oke! Kalo
kamu bilang gitu, sekarang enyah dari hadapanku dan jangan pernah coba hubungin
aku untuk kembali dengan kalian,” terang Nina menatap tajam Gilang.
“Oke! Kamu kira diri kamu siapa,”
balas Gilang sinis.
Nina terpaku. Ini bukan hal yang
biasa ia dapatkan dari cowok-cowok yang pernah jadi pasangannya. Nina mencoba
bertahan untuk tak menangis di depan Gilang. Ia tak mau terlihat cewek yang
lemah.
*
“Udah, lupain aja cowok kayak dia.
Sayang tau airmata kamu buat orang yang gak peduli lagi sama kamu. Mending
airmatanya buat aku aja,” goda Arifin.
“Ih, kamu apaan sih? Emangnya aku
gak boleh nangis buat orang yang pernah singgah di hati aku. Lagian kamu juga
gak rugi kok kalo airmataku habis,” balas Nina manja.
“Hahaha…” Keduanya saling tertawa
lepas. Nina tak sendiri lagi, kini ada Arifin yang selalu menemani dan
menjaganya. Ada rasa nyaman yang bergelayut dalam hati Nina saat berada dengan
Arifin. Apakah Nina mulai membuka hatinya kembali?
“Arif…” panggil Nina lembut.
“Hm…”
“Kamu janji ya, jangan ninggalin
aku. Soalnya teman dan pacar yang dulu kupunya udah tega mengkhianati aku. Aku
gak mau kamu kayak mereka, aku pengen kamu terus di samping aku. Nemani aku
jalani hidup ini dan ngisi kekosongan hari-hariku,” ucap Nina datar. Ia menatap
lurus ke depan seperti menerawang sesuatu yang ia pikirkan.
“Iya, aku janji demi kamu. Dan kamu
gak perlu takut untuk itu,” jawab Arifin cepat dan menatap mata bening Nina.
Senyum sumingrah terpancar di bibir mungil Nina. Perasaan haru terlihat dari
mata indahnya.
*
3
tahun kemudian
“Kenapa ini harus terjadi padaku?
Apa aku gak pantas bahagia dengan orang yang kucinta? Selalu saja ada orang
lain yang mengambilnya dariku,” batin Nina.
“Nin, maafkan aku untuk kedua
kalinya,” suara Isma bergetar. Ada rasa takut yang menyelimuti perasaannya.
“Is, apa sih salah aku sama kamu?
Kenapa kamu terus menghancurkan hubunganku. Pertama Gilang, kedua Arifin, terus
besok siapa lagi? Ajian apa yang kamu pake. Bisa-bisanya semua orang yang udah
jadi milikku beralih padamu,” ujarnya berang.
“Kamu gak salah apa-apa, Nin. Aku
yang salah. Entah mengapa aku merasa cemburu saat melihatmu dengan orang lain.
Aku gak bermaksud merusak kebahagianmu.”
“Cukup! Kamu gak perlu jelasin
apapun. Ini semua udah cukup buat aku ngerti,” ucapnya meninggalkan Isma untuk
sakit hati yang teramat.
“Kamu gak tau apa yang udah terjadi
sama aku, Nin. Maafkan aku…”
*
Nina masih bungkam seribu bahasa.
Sulit baginya untuk bisa mengutarakan apa yang ingin keluar dari mulutnya.
Perlahan Nina menghela napas panjang, mengumpulkan keberanian untuk berbicara.
“Apa! Kamu udah gila ya! Liat kamu
siapa dan aku siapa. Kamu pikir aku ini wanita apaan!”
“Tapi, aku sayang kamu. Aku cinta
sama kamu. Aku gak mau kamu punya hubungan khusus dengan orang lain. Sungguh,
aku benar-benar menyukaimu. Suara lembutmu, ucapanmu yang manja, dan harum
tubuhmu. Aku kangen itu.”
“Stop! Hentikan kata-katamu yang
menjijikkan itu. Kamu sadar kamu tuh siapa ISMA HARIANI. Kamu gak bisa
menyukaiku!”
“Kenapa? Gak ada yang bisa melarang
cinta kan? Ini alasanku selalu menghancurkan hubunganmu dengan mereka. Aku
cemburu, aku gak suka liat kamu mesra-mesraan dengan mereka. Aku…”
Plllaakk!
“Dan aku gak suka itu!”
Nina paham akan maksud yang
diutarakan sahabatnya. Sahabat, entahlah. Nina tak mengetahui arti sahabat bagi
dirinya. Nina merasa dirinya orang bodoh sedunia sampai gak menyadari keadaan
di sekitarnya, sahabatnya sendiri menyukainya dengan alasan konyol. Oh my god sadarkan dia, pintanya dalam
hati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar