Minggu, 18 November 2012

Cerpenku di Batak Pos "Dia Milikku", 17 November & 24 November 2012


Aaaa, November benar-benar memberikanku kebahagian lagi. Alhamdulillah, cerpenku "Dia Milikku (1)" terbit di Batak Pos edisi Sabtu, 17 November 2012.Dan kemaren Sabtu,24 November cerpennya kembali dimuat.Senangnyaaaaa.... Kalo mau baca jangan lupa tinaggalkan komentarnya ya ^_^








 

























Dia Milikku Bukan Milikmu

Oleh: Ayu Ira Kurnia Marpaung


            Suasana kelas XII-A sangat tegang. Ada kericuhan antar siswa yang sedang berselisih hebat.
            “Hei! Kamu seharusnya tau dia itu milikku, bukan milikmu. Tapi, dengan gampangnya kamu ngambil dia dari hidupku. Kamu punya hati gak sih.” Suara lembut Nina terdengar parau. Belum pernah seisi kelas melihatnya bertengkar dengan sahabatnya sendiri. Nina adalah siswa teladan sekaligus berprestasi di sekolahnya.

            “Maaf Nin, aku gak bermaksud buat ngambil dia dari kamu. Aku cuma…”

            “Cuma apa? Cuma kebetulan gitu. Atau kamu pura-pura gak tau kalau Gilang itu pacar aku,” Nina memotong ucapan Isma. Terlihat dari sudut matanya ada cairan bening yang jatuh membasahi wajahnya. Nina menangis dan berlari meninggalkan Isma. 

            “Nin, Nina tunggu aku!” Sayangnya panggilan Isma tak digubris Nina. Ia terus berlari melewati koridor kelas tanpa memperhatikan banyak mata yang memandangnya.

Buuukkk!
            Nina menabrak seorang siswa, hingga buku yang dibawanya jatuh berhamburan.

            “Kalo jalan pake mata dong. Liat tuh ulah kamu, bukuku jadi berantakan,” ucapnya kesal. Nina mendongkakkan wajahnya, sesaat bibirnya mengucap kata “maaf” dan terus berlari.

            “Loh, kok nangis sih. Apa aku kelewatan ya negurnya? Jadi ngerasa bersalah nih,” ucapnya kebingungan. Masih dengan tampangnya yang bingung ia terus memandangi Nina dari kejauhan.

            “Hm…paling juga bertengkar dengan pacanya,” gumannya cuek.

*

            “Kamu tega, Is. Kenapa harus Gilang yang kamu suka? Kenapa juga Gilang harus nerima kamu? Apa selama aku menjalani hubungan dengannya, kalian udah pacaran backstreet dariku? Oh my god, tolong aku.” Rentetan pertanyaan menyerbu pikiran Nina.

            “Apa yang harus aku lakukan? Isma sahabat aku, Gilang orang yang kucinta. Aku benci mereka. Sangaat benciii.” Pekik Nina di taman belakang sekolah.

            “Ini tissu untukmu.” Nina menoleh ke arah sumber suara yang mengusik ketenangannya.

            “Kamu…” Suaranya tercekat di tenggorokan. Ada benda yang menganjal hingga Nina tak sanggup melanjutkan ucapannya.

            “Iya, ini aku. Kenapa? Heran ya liat aku bisa ada di sini. Kamu perlu tau, ini taman udah jadi tempat curhatku kalo ada masalah,” terangnya menjelaskan apa yang ada di pikiran Nina.

            “Makasih, Rif,” ucap Nina sembari mengambil tissu dari Arifin.

            Lama keduanya saling diam. Bermain dengan pikiran dan imajinasi masing-masing. Hingga bel istirahat melengking panjang, tanda waktunya masuk kelas. Mereka melempar senyum  polos yang penuh dengan makna. 

            “Nin, kapan sih kamu akan ngerti arti keberadaanku selama ini di sampingmu. Apa hanya Gilang dan Gilang  yang bisa buat kamu bahagia,” guman Arifin.

*

            “Nin, aku minta maaf. Aku gak bermaksud nyakiti kamu. Jujur, sebenarnya aku udah pacaran dengan Isma sebulan kita jadian. Tapi Isma gak mau nyakiti kamu, makanya kita nyembunyikan ini dari kamu. Isma sayang sama kamu, dia gak mau liat kamu sedih liat hubungan kami nantinya.”

            “Terus ini apa! Ini lebih nyakitin aku tau. Aku juga punya perasaan dan kamu tau aku malah berpikir kalo kamu itu beneran sayang sama aku. Tapi apa! Semuanya busyit, cinta kamu ke aku cuma palsu. Omong kosong, kalian jahat!” Suara Nina naik satu oktaf dari biasanya. Rasa yang dimilikinya bukan lagi sayang, rindu, ataupun cinta melainkan rasa benci yang sudah teramat busuk di hatinya.

            “Nin, kamu gak boleh egois gini. Semua ini kami lakukan untuk kamu!” Gilang tak mau kalah dengan Nina. Nina kaget mendengar bentakan yang belum pernah ia terima sebelumnya.

            “Kamu bilang aku egois. Oke! Kalo kamu bilang gitu, sekarang enyah dari hadapanku dan jangan pernah coba hubungin aku untuk kembali dengan kalian,” terang Nina menatap tajam Gilang.

            “Oke! Kamu kira diri kamu siapa,” balas Gilang sinis.

            Nina terpaku. Ini bukan hal yang biasa ia dapatkan dari cowok-cowok yang pernah jadi pasangannya. Nina mencoba bertahan untuk tak menangis di depan Gilang. Ia tak mau terlihat cewek yang lemah.

*

            “Udah, lupain aja cowok kayak dia. Sayang tau airmata kamu buat orang yang gak peduli lagi sama kamu. Mending airmatanya buat aku aja,” goda Arifin.

            “Ih, kamu apaan sih? Emangnya aku gak boleh nangis buat orang yang pernah singgah di hati aku. Lagian kamu juga gak rugi kok kalo airmataku habis,” balas Nina manja.

            “Hahaha…” Keduanya saling tertawa lepas. Nina tak sendiri lagi, kini ada Arifin yang selalu menemani dan menjaganya. Ada rasa nyaman yang bergelayut dalam hati Nina saat berada dengan Arifin. Apakah Nina mulai membuka hatinya kembali?

            “Arif…” panggil Nina lembut.

            “Hm…”

            “Kamu janji ya, jangan ninggalin aku. Soalnya teman dan pacar yang dulu kupunya udah tega mengkhianati aku. Aku gak mau kamu kayak mereka, aku pengen kamu terus di samping aku. Nemani aku jalani hidup ini dan ngisi kekosongan hari-hariku,” ucap Nina datar. Ia menatap lurus ke depan seperti menerawang sesuatu yang ia pikirkan.

            “Iya, aku janji demi kamu. Dan kamu gak perlu takut untuk itu,” jawab Arifin cepat dan menatap mata bening Nina. Senyum sumingrah terpancar di bibir mungil Nina. Perasaan haru terlihat dari mata indahnya.

*

3 tahun kemudian
            “Kenapa ini harus terjadi padaku? Apa aku gak pantas bahagia dengan orang yang kucinta? Selalu saja ada orang lain yang mengambilnya dariku,” batin Nina.

            “Nin, maafkan aku untuk kedua kalinya,” suara Isma bergetar. Ada rasa takut yang menyelimuti perasaannya.

            “Is, apa sih salah aku sama kamu? Kenapa kamu terus menghancurkan hubunganku. Pertama Gilang, kedua Arifin, terus besok siapa lagi? Ajian apa yang kamu pake. Bisa-bisanya semua orang yang udah jadi milikku beralih padamu,” ujarnya berang.

            “Kamu gak salah apa-apa, Nin. Aku yang salah. Entah mengapa aku merasa cemburu saat melihatmu dengan orang lain. Aku gak bermaksud merusak kebahagianmu.”

            “Cukup! Kamu gak perlu jelasin apapun. Ini semua udah cukup buat aku ngerti,” ucapnya meninggalkan Isma untuk sakit hati yang teramat.

            “Kamu gak tau apa yang udah terjadi sama aku, Nin. Maafkan aku…”

*

            Nina masih bungkam seribu bahasa. Sulit baginya untuk bisa mengutarakan apa yang ingin keluar dari mulutnya. Perlahan Nina menghela napas panjang, mengumpulkan keberanian untuk berbicara.

            “Apa! Kamu udah gila ya! Liat kamu siapa dan aku siapa. Kamu pikir aku ini wanita apaan!”

            “Tapi, aku sayang kamu. Aku cinta sama kamu. Aku gak mau kamu punya hubungan khusus dengan orang lain. Sungguh, aku benar-benar menyukaimu. Suara lembutmu, ucapanmu yang manja, dan harum tubuhmu. Aku kangen itu.”

            “Stop! Hentikan kata-katamu yang menjijikkan itu. Kamu sadar kamu tuh siapa ISMA HARIANI. Kamu gak bisa menyukaiku!”

            “Kenapa? Gak ada yang bisa melarang cinta kan? Ini alasanku selalu menghancurkan hubunganmu dengan mereka. Aku cemburu, aku gak suka liat kamu mesra-mesraan dengan mereka. Aku…”

Plllaakk!

            “Dan aku gak suka itu!”

            Nina paham akan maksud yang diutarakan sahabatnya. Sahabat, entahlah. Nina tak mengetahui arti sahabat bagi dirinya. Nina merasa dirinya orang bodoh sedunia sampai gak menyadari keadaan di sekitarnya, sahabatnya sendiri menyukainya dengan alasan konyol. Oh my god sadarkan dia, pintanya dalam hati.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar