Sabtu, 24 November 2012

Cerpenku di Harian Waspada, "Seputih Cinta Jingga", 25 November 2012

Rasanya Minggu ini aku benar-benar "beruntung". Benar yang diucapkan Om DAN "Tulis, kirim, lupakan, dan kirim (lagi)" akan membuat kita begitu semangat untuk tetap menulis dan menulis. Oke, hari ini Minggu,25 November 2012 kembali cerpenku "Seputih Cinta Jingga" mewarnai di Rubrik Cemerlang di Koran Waspada. Selamat menikmatinya. Buat yang sudah baca jangan lupa tinggalkan kritik dan sarannya. ^_^





Seputih Cinta Jingga
Oleh: Ayu Ira Kurnia Marpaung

            Aku masih berdiri di pantai. Menikmati hembusan angin yang bermain manja pada belaian rambutku. Deburan ombak masih berlomba untuk mencapai bibir pantai dengan adu cepat. Terlihat senja tersenyum dengan memperlihatkan jingganya pada cakrawala. “Aku merindukanmu,” desahku lirih. 

            Berkali-kali aku melempar batu kerikil ke laut sana. Tenggelam dan tidak kembali. Apa rasa ini seperti batu tadi? Datang menghiasi hari-hariku dan tenggelam oleh waktu yang memenjarakannya? Tuhan, kemana langkah ini harus mencarinya. Aku terlalu lelah untuk membiarkan cinta ini terurai pada tempat yang salah. Cukup sudah rasa sakit yang pernah merayap pada hati ini. 

            Aku terhempas pada pasir pantai. Membiarkan ombak membasahi tubuhku. Menatap senja yang akan segera datang untuk memberi obat penawar rindu. “Hujan, di mana kau? Apakah aku harus memanggilmu dengan mantra kerinduan?” desahku lirih.

            Aku bangkit dan memandang laut yang membentang. Merentangkan tanganku lebar-lebar. Membiarkan angin membawa semua resah yang bergelayut dalam pori-pori kehidupanku. 

*

            “Hai, apa yang kau lakukan?”

            Aku hanya menoleh sesaat,kemudian melanjutkan pandanganku pada rinai hujan yang masih setia menemaniku menikmati cappuccino. “Dasar, ganggu orang saja,” rutukku lirih.

            “Kau sedang apa?” Ia mengulang pertanyaannya hingga membuatku terusik. Kali ini aku mendesah panjang.

            “Apa pedulimu!”

          “Aku hanya penasaran saja. Sedari tadi aku memperhatikanmu hanya mengaduk-aduk gelasmu. Terus manyun ketika melihat luar hujan masih mengguyur kota ini,” katanya panjang lebar.

            “Aku paling benci hujan.” Jawaban yang menurutku sangat tepat. Tanpa seizinku dia menempati sofa kosong di sampingku. Seakan-akan dia orang yang sangat berarti saat itu.

            “Aku suka hujan. Kau tau?”

            “Dasar aneh! Untuk apa juga aku harus tahu. Itu nggak penting buat hidupku,” omelku dalam hati.

            “Kau harus tahu. Karena aku akan mengajakmu untuk menyukai hujan.” Dia seakan membaca pikiranku. Dasar bego,apa peduliku.

            “Hujan itu sangat indah. Kau bisa membaur bersama hujan jika kau merasa sendiri atau bersedih. Hujan itu menyejukkan, aromanya yang membuat kita merasa damai. Kau tahu, hujan juga memberikan keindahan yang sangat luar biasa.”

            Aku memandangnya heran. “Kau bilang hujan memberikan keindahan. Apa nggak sebaliknya? Hujan hanya bisa mengurungku berlama-lama dalam cafĂ© ini.”

            “Hei, kau salah. Hujan akan memberi pelangi. Itu keindahannya. Kau tau semua orang menyukainya.”

            “Oh, ya boleh aku mengetahui namamu?” tanyanya seolah tak menggubris kekesalanku.

            “Jingga.” Ucapku pendek.

*

            Pertemuan yang membuatku harus sering bertemu dengannya. Sosok misterius yang selalu hadir saat hujan membasahi bumi. Entah mengapa ada perasaan aneh yang menyelimutiku. Antara perasaan senang, benci,bahkan deg degan.

            “Tuhan, perasaan apa ini? Aku benci lelaki yang menyukai hujan. Sangat.” Aku menggigit bibirku. Sudah terlalu sering aku tersakiti dengan lelaki yang menyukai hujan. Entahlah,seperti duri yang perlahan menyobek hatiku hingga terasa perih. Aku tak mengerti kesalahan apa yang telah kulakukan hingga aku seperti mendapatkan kutukan ini. 

            Bukan ingin menyalahkan takdir yang selalu mempertemukanku dengan lelaki penyuka hujan. Seperti kebetulan yang sudah direncanakan olehNya. Aku hanya bisa mengutuk dan mengutuk diri. Akankah hujan bisa kembali bersahabat denganku, Jingga? Pertanyaan bodoh yang selalu hadir dalam bayangan tidurku. 

*

            Hari ini aku lebih awal pulang dari sekolah. Maklum ada rapat guru. Aku memilih pergi ke pantai menghabiskan waktu senggangku. Ya, pantai adalah tempat favoritku untuk bisa membuat pikiranku lebih fresh. Selain melihat senja berjam-jam, aku juga suka laut yang biru. Menurutku laut dan senja dua hal yang sangat indah. Apalagi dengan balutan hujan yang saat ini selalu menghiasi hari-hariku.

            Hampir satu jam aku duduk di hamparan pasir. Menikmati jilatan ombak pada kaki telanjangku. Tanpa sengaja mataku merekam kejadian yang membuatku shock. Rangga bersama orang lain begitu mesranya mereka bergandengan tangan. Aku tergugu. Tanpa dikomando airmataku jatuh membasahi pipiku. Dengan sisa-sisa kekuatan yang kumiliki saat ini, kucoba menghampiri Rangga. 

            “Rangga,” panggilku lirih. Tanpa merasa bersalah dia menoleh dan menatapku datar dengan jawaban “ya”. 

“Siapa dia? Ada hubungan apa denganmu?” tanyaku terbata menahan amarah yang sudah bergejolak. 

            “Dia Sasha pacar baruku. Oh ya, aku belum mengenalkannya denganmu. Sasha sangat mengerti tentang aku dibanding dengan dirimu. Satu hal yang harus kamu ketahui, aku bukan cowok bodoh yang mau menemani kamu berjam-jam hanya untuk melihat senja bersama deburan laut.” Ucapan Rangga seperti palu yang menghancurkan cermin hatiku. Berantakan dan meninggalkan puzle yang tidak akan mungkin bisa disatukan kembali. 

            “Ja…di…” Aku kehabisan kata yang akan kuucapkan. Tanpa mempedulikanku yang terpaku, Rangga berlalu dari hadapanku dengan kemesraan baru yang diperlihatkannya. 

            “Rang, kamu tega melukis awan mendung di mataku. Kamu membuat hujan tak akan berhenti. Kamu pembohong, Rang…” Aku menangis tersendat-sendat. Rasanya aku ingin berteriak memanggil ombak untuk membawaku pergi.

            “Aaaaaa…” Jeritku histeris. Sorot mata misterius menatapku tajam bak elang yang siap menerkam mangsanya. Aku tidak peduli. Yang kuinginkan saat ini adalah meluapkan semua kekesalanku pada cinta yang menggores luka.

            Kenapa Tuhan memberi aku cinta yang palsu? Tidak adakah lelaki yang mencintaiku seputih cintaku?

*

            “Jingga, kamu harus tau itu. Nggak semua lelaki yang menyukai hujan akan melukis tangis dalam hidupmu dan nggak selamanya penggila senja sepertimu akan memberikan warna indah juga untuk langit.”

            “Terus menurutmu aku harus membuka lagi perasaanku untuk orang yang sama. Membiarkan diriku disakiti dan terus disakiti.” Suaraku sedikit meninggi. Ini kesekian kalinya aku berdebat panjang dengan dirinya. 

            “Aku mencintaimu Jingga. Selamanya, aku ingin kau menjadi milikku selalu, utuh. Tanpa ada tangan yang berani mengusikmu…kecuali aku.”

            “Maksudmu…” Aku menyadari setiap kata demi kata yang diucapkannya. Apa aku harus mempercayainya? Kuakui ia selalu menemaniku saat aku merasa bego dengan diriku sendiri. Ia akan hadir jika aku sedang dipenjara oleh hujan. 

            “Aku sangat, sangat mencintaimu Jingga. Kuharap kau akan menggores jinggamu setelah hujan bukan pelangi yang diharapkan semua orang. Aku hanya ingin hujan menghiasi kebahagianmu, bukan kesedihanmu,” ucapmu meninggalkanku dalam diam. Ada rasa sakit saat dia pergi. Aku berharap dia akan menoleh dan berlari mendekapku. Tapi, dia terus saja melangkah menjauhiku.

*

            Sejak kejadian itu dia tidak pernah lagi menampakkan batang hidungnya di hadapanku. Aku merasa bersalah karena terus memojokkannya hanya karena masa laluku yang membuatku membenci hujan.

            “Hujan, kemana dirimu? Aku merindukanmu. Aku ingin kau di sampingku, mendekapku dalam dingin beku yang merasuki, dan memberi warna setelahnya.”






Tidak ada komentar:

Posting Komentar