Kamis, 27 November 2014

Cerpen " Aku Bukan Dia", Medan Bisnis Minggu, 9 November 2014

Udah lama bingit nggak berkunjung ke rumah yang satu ini. Padahal udah banyak yang mau dipost. Oke, ada penghuni baru lagi yang akan dipajang di sini. Selamat menikmati salah satu cerpenku yang dimuat Medan Bisnis edisi Minggu, 9 November 2014.

Aku Bukan Dia

Ayu Ira Kurnia Marpaung



    Puncak kesabaranku sudah di ubun-ubun. Kalian tahu? Rasanya mereka ingin menyembur keluar. Lalu seenak jidatnya menghantam setiap tembok yang menghalanginya. Aku bukan lesbi! Aku cewek normal yang menyukai lelaki. Tapi kenapa Tuhan ciptakan makhluk seperti dia? Aku muak! Aku benci dengan semua ini! Aku ingin menyayat pipinya. Biar dia tahu rasa perih setiap mendengar ucapnnya “aku cinta kamu”. Lalu kujadikan sushi untuk santapan malamku. Agar dia merasakan nikmatnya ejekan orang untuk diriku. Argghh… Aku jijik! Meski ribuan orang bilang”Lesbi bukan pilihan, mungkin karena kurang kasih sayang” aku tak peduli. Memangnya siapa yang akan peduli perasaanku yang terus tersiksa seperti ini. Mereka? Tidak!

    Meski matahari tak begitu garang siang ini, aku merasakan dadaku sesak. Ini bukan sehari atau dua hari. Ini sudah lewat berbulan-bulan aku menyimpan semua rasa kesal. Diam dan diam. Hanya itu yang sampai detik ini kulakukan. Pernah suatu hari ingin mengumpatnya dengan kata-kata kasar. Hanya saja aku masih punya akal pikiran. Dia lebih tua usianya dibandingkanku. Lalu, dengan gampangnya kusimpan amarah itu dalam-dalam. Tak peduli betapa sesaknya dadaku saat itu.

    Semua mata memandangku dengan tatapan aneh. Mereka tercenggang heran mendengar setiap kata demi kata yang terlontar dari mulutku. Aku bisa merasakan itu semua. Karena ini untuk pertama kalinya aku menyembur bak seekor naga yang kelaparan. Aku menghujatnya, memakinya, mengumpatnya, bahkan aku mengeluarkan kata-kata yang aku sendiri benci.

    “Dasar cewek lesbi! Aku masih normal. Aku bukan cewek yang bisa kau jadikan pemuas nafsumu. Cewek gila!!!” Umpatku geram. Terlihat jelas urat leher karena amarah yang menghantamku. Gelas yang ditangan kuhempaskan ke lantai.

Prangg!!!

    Dia menatapku tajam. Mungkin dia sedang melihat iblis dalam diriku. Tak kugubris tatapannya. Aku sudah tak tahan. Dadaku terlalu sesak untuk menyimpan semua kesabaranku. Dan ini yang kutunggu-tunggu. Marah.

    “Kau…”

    “Apaa?!”

    “Siapa yang mengajari kau ngomong seperti ini?” tanyanya penuh heran. Matanya masih menatapku lekat, tak ubahnya macan yang siap memangsa musuhnya.

    “Apa pedulimu?! Tanpa ada yang mengajari aku tahu apa yang harus kulakukan. Kau pikir aku anak kecil. Dengan barang-barang mahal yang kau beri, terus aku akan menukarnya dengan diriku. Seharusnya kau bercermin dan malu dengan dirimu. Kalau kau menginginkan sayang, cari sana lelaki yang bisa menerimamu. Bukan dengan perempuan sepertiku. Mulai saat ini jauhi aku. Aku nggak mau ketularan lesbi sepertimu,” jawabku kasar.

    Usai semua kutumpahkan kekesalanku. Aku menyeret kakiku keluar dari ruangan tempatku bekerja. Tak kuhiraukan atasan yang memanggilku. Aku muak melihat tampang polosnya yang menyimpan semua rahasia hati. Bodohnya aku terlalu percaya akan semua kebaikan yang selama ini terus membanjiriku. Kenapa aku gampang banget percaya kata-kata manisnya? Ternyata semuanya ada harganya. Dan itu aku!

*
    “Amarahmu udah pulih?”

    Aku masih diam. Napasku memburu. Dua botol minuman sudah habis kutenggak tanpa sisa setetes pun. Emosi tadi menguras dahaga. Selepas keluarnya aku dari tempat kerja, aku memutuskan pergi ke kantin. Menurutku di sana tempat yang paling cocok untukku berdamai dengan hati. Unrtungnya ada Ira, teman kerja yang baru tiga bulan akrab denganku.

    “Rus, aku tahu apa yang kau rasakan sekarang. Aku tahu rasanya gimana dicintai dengan sesama jenis. Tapi, bukan berarti kau berhenti bekerja, bukan?” Ira berusaha menenangkanku.

    “Lagian kau mengenalnya lebih lama dibanding denganku. Aku tahu pasti kau lebih memahaminya. Apa kau yakin dengan keputusanmu barusan?” lanjut Ira.

    “Entahlah, Ra. Aku capek. Aku hanya ingin kerja, nggak lebih. Tapi selalu saja dia membuatku kalap dan merasa jengah. Aku muak dan ingin muntah melihat kelakuannya. Bodohnya, aku percaya dan polos banget dengan semua kebaikannya selama ini. Aku nggak habis pikir dengan cara gilanya menyukaiku.”

    Ira mengelus lembut punggungku. “Rus, kau udah kenal lama dengannya. Seharusnya kau bisa menempatkan dia di hatimu. Dia hanya butuh kasih sayang. Nggak lebih, Rus.”

    “Jadi maksudnya, kau menyuruhku berhubungan dengannya? Gila kamu, Ra! Aku pikir kau akan memberiku solusi yang lebih baik untuk masalah ini. Nyatanya kau sama sekali nggak pernah ngerti tentang aku. Kau nggak beda jauh dengannya, Ra,” emosiku kembali mengalir ke seluruh nadi.

    “Rus, maksudnya…”

    “Cukup, Ra! Sebaiknya kau jauh-jauh dariku. Aku nggak mau kepalaku pecah mendengar omonganmu yang nggak jelas. Satu hal lagi! Jangan pernah kau samakan aku dengan dia, karena aku bukan dia! Camkan itu,” usirku cepat.

    Ira memandang kecut ke arahku. Mungkin dia sakit hati dengan ucapanku barusan. Peduli setan. Yang penting aku ingin menjauhi dari orang-orang yang berjiwa gila.

*
    Aku membekep mulut rapat-rapat. Takut kalau mereka sampai mendengar suaraku. Ini di luar dugaanku. Bahkan aku tak pernah berpikir sejauh ini. Rasanya aku sedang bermimpi di siang bolong. Apa ini? Mereka begitu sangat menikmatinya. Aku bisa melihatnya dari kejauhan ini. O my god, tolong bangunkan aku biar mimpi buruk ini berakhir, pekikku dalam hati.

    Aku berjinjit pelan mendekati kamar kost. Pintunya sedikit terbuka. Aku ingin menajamkan indera pendengaran dan pengelihatanku.

    “Sayang, aku mencintaimu setulus aku mencintai diriku. Aku janji nggak akan menduakan cintamu atau bermain api di belakangmu.”

    “Janji, ya. Aku juga nggak akan membiarkan satu orangpun memilikimu kecuali aku. Jangan pernah coba-coba untuk menyakitiku. Kamu akan tahu sendiri akibatnya.”

    Perutku mual mendengar ocehan gila mereka. Sejak kapan ini? Apa aku harus tutup mulut dan membiarkan ini lebih jauh lagi? Aku lebih baik amnesia. Kenapa aku yang ada dalam bagian dari mereka bisa-bisanya tak menyadari. Kepalaku mulai tak bersahabat. Adegan setiap adegan terekam jelas di mataku. Raya dan Ira bercumbu mesra. Bahkan aku tak pernah menduga jika Ira memiliki jiwa lesbi seperti Raya.

  


1 komentar: