Kamis, 21 Juni 2012

Cerpen, "Mimpi Gadis Pemulung" di Koran Portibi

Udah lama banget pengen cerpenku suatu saat dimuat di sebuah media. Baik itu media lokal ataupun media lainnya. Sempat pesimis dengan keinginan itu, karena Ibu melarangku untuk tidak menulis lagi. tapi aku sangat ingin menulis dan menulis.

Aku nangis dan sms Bunda Chie. Beliau menenangkanku dengan kata-kata bijaknya. Akhirnya tanpa kusadari atau direncanakan, aku menulis semua kegelisahanku melalui handphone. Dan akhirnya ide muncul dibenakku. Aku ingin menulis cerita ini dan mengirimnya ke media.

Akhirnya, usahaku tidak sia-sia. Kak Chaerul membantuku utnuk selalu optimis mengirim naskah cerpen itu. Cerpen pertamaku sekaligus targetku bulan ini tercapai. Cerpen dengan lokalitas daerahku dimuat dalam Koran Potribi edisi Kamis, 14 Juni 2012.

Mimpi Gadis Pemulung
By: Ayu Marpaung





            “Aku ondak manulis, Mak!” jeritku histeris.

            Saat tamparan dan pukulan kayu rotan itu menghujamku bertubi-tubi. Wanita yang melahirkan aku dan kupanggil ia dengan sebutan omak itu, semakin terlihat geram mendengar jeritanku.

            “Apo untungnyo kau jadi panulis. Tak ado kan? Manghabiskan waktu sajo karojo kau,” hujat Omak.
            Mata omak menatap tajam wajahku seperti harimau yang siap menerkam mangsa.
            “Awas, kolo nampak omak kau manulis lagi. Kubakar samuo buku kau!,” ancam Omak sebelum meninggalkanku dalam perih luka yang baru saja mendarat di tubuhku.

***

            Aku memeluk kaki dan membenamkan wajah kusamku dalam-dalam di sela kedua lutut. Tubuhku masih membekas memar rotan yang dilayangkan omak. Kulirik tumpukan buku yang berserakan. Andai saja Ayah masih ada di tengah-tengah keluarga ini. Pasti omak, aku dan abang tidak akan merasakan penderitaan yang seperti ini. Omak selalu berlaku kasar padaku. Impianku harus tersimpan manis dalam file yang jauh dalam hati. Padahal aku telah berjanji pada Ayah akan menjadi penulis yang hebat. Menulis dengan goresan pena untuk semua kisah yang mewakili asa yang hadir sejenak dalam hidup. Sekedar membuktikan kepada dunia, bahwa aku bisa!.

            “Maafkan anakmu, Ayah! Aku tak mampu mewujudkan impian itu,” batinku.

            Aku beranjak dari sudut ruangan itu. Berjalan menuju bibir jendela yang masih terbuka. Perlahan kusandarkan punggung di dinding. Aku meringgis menahan perih. Kudongakkan wajahku keluar. Menatap lekat-lekat langit hitam. Tak ada sinar yang berkelap-kelip.

            “Tumben, tak ado bintang!” gumamku lirih.

            Angin malam berhembus lembut serasa menampar wajahku. Tiba-tiba cahaya kilat menyapa bumi. Aku tersentak. Mungkin akan turun hujan. Bersamaan dengan itu kudengar teriakan Omak dari luar.

            “Ongaaaaaaah, apo lagi tak tidur kau! Janganlah kau buat Omak mati badiri jadinyo. Ombal nang mangurusi kau sajo aku, lamo-lamo naek darah tinggiku kau buek.”

Aku menghela napas panjang. Bergegas turun dan menutup jendela. Bersama rinai hujan yang turun membasahi bumi., kurebahkan badan setelah seharian bekerja mengais tong-tong sampah atau tumpukan sampah di sekitaran jalan Sudirman.

***

            “Kanapo kau manangis, sayang?” ucapnya lembut sembari mengelus rambutku. Aku menoleh dan terperanjat.
            “Ayaaaaah…!” Jeritku sambil mendekapnya. “Dari kapan ayah ado si sini?,” tanyaku penuh kebingungan.
            “Ayah malihat kau manangis.  Ado apo? Caritokanlah samo Ayah, siapo nang membuek anak ayah ni manangis.”

            Aku hanya tersenyum getir dalam dekap pelukannya. Butiran hangat itu menggelinding di pipi mungilku tanpa dapat kutahan lagi.

            “Bah, mangapo pulak batambah manangis, sayang? Ayah tak ado manyuruh kau manangis. Sojak kapan pulak anak ayah ni manjadi cengeng bagini.”

            Aku memeluknya lagi semakin erat. Aku tak ingin membuat Ayah sedih. cukup aku, Tuhan dan dinding-dinding bisu yang tahu penderitaanku.

            “Tak ado masalah, Ayah. Awak hanyo rindu samo ayah,” terangku berdusta.
Ayah seakan tahu perasaanku. Dia tersenyum lembut, dengan nurani seorang Ayah dia menatap mataku jauh. Seakan ingin mnghipnotis diriku.

            “Jangan kau mambongak  samo Ayah, Ongah!” seru Ayah mencium nada kebohongan pada rangkaian kataku.
Aku hanya diam. Tak sepatah katapun yang terucap dari bibirku. Kulepaskan pelukannya dan menarik napas panjang.
            “Omak malarang awak manulis, Ayah!” ucapku akhirnya.

            Dengan sesenggukan kuceritakan perihal tentang Omak. Ayah tersenyum mendengar semua ceritaku.

            “Totaplah kau manulis! Jangan pornah baronti manulis walau apo pun nang tajadi. Kau tak boleh lomah dan cengeng, anakku! Dunio ni akan tagolak malihat kau bagini. Harapan Ayah hanya kau. Si Alang tak bisa diharapkan lagi. Ukir masa depanmu dengan senyuman bukan tangisan.”

            “Ayyyaaahhhh…” Tangisku memecah kesunyian. Ayah benar aku tidak boleh lemah. Aku harus semangat menjalani lika-liku kehidupan yang fana ini.

***

            “Ongaaaah, Oooi, Ongaaaaah! Apo lagi tak bangun kau. Hari sudah siang. Copat kau karojo. Diambek orang bagian kau nanti,” teriak Omak dari dapur.

            Aku tersentak kaget mendengar teriakan Omak. Hujan membuatku terlelap tidur. Dengan mata yang masih terkantuk-kantuk, kucoba bangun dari kasur kusam milikku meski jalanku masih sedikit sempoyongan. Maklum, tenagaku belum terkumpul semuanya.

“Ruponyo cumo mimpi aku bajumpo samo ayah tu,” gumamku setelah menyadari apa yang terjadi.

Tanpa menunggu komando lagi. Aku bergegas membereskan kasur dan langsung menuju kamar mandi. Dalam waktu sekejap kukenakan pakaian kerja. Pakaian yang sudah usang dan bau. Keranjang yang akan kupikul sudah menunggu dengan setia.

“Sarapan kau dulu. Ingat yo, jangan sampai tak banyak kau dapat. Jangan asyik manulis sajo karojo kau di sana,” peringatan yang lebih tepat kusebut ancaman itu mulai terdengar lagi.

Aku hanya bisa diam sambil menyantap nasi putih berlauk tempe goreng dan ikan asin itu. Yah, Lebih baik diam dari pada harus dijawab. Selesai makan kubereskan piring-piring dan meletakkan semuanya kembali pada tempatnya.

***

            Pagi menyapaku dengan senyuman hangat. Membuat tetes demi tetes peluh mulai bercucuran jatuh di dahiku. Berjalan dari satu rumah ke rumah yang lain. Mengacak-acak sampah, berharap menemukan barang bekas yang masih bisa dijual lagi. Sejak Ayah meninggal dua tahun yang lalu, kehidupan kami berantakan. Aku harus berhenti sekolah dan menjadi pemulung untuk membantu Omak mendapatkan penghasilan tambahan dari jualan gorengannya.

            Aku tak pernah mengenal siang atau malam. Aku sudah mulai terbisa seperti ini sejak 6 bulan lalu. Abangku hanya bermalas-malasan. Tapi Omak tak pernah sedikitpun memarahinya.

            “Hei, jangan berdiri di situ. Mau mencuri ya!” Hardik empunya rumah saat aku serius mengaduk-aduk tong sampah.

            Aku bengong mendengar kata “mencuri”. Sungguh memalukan. Walaupun aku seorang pemulung tak pernah sedikitpun berniat untuk mencuri. Buru-buru aku berlalu dari rumah mewah itu. Melanjutkan kembali aktifitasku mengais sampah dari lorong ke lorong.

            Matahari semakin tinggi. Kerongkonganku mulai demo, cacing dalam perut pun mulai protes meminta sedikit makanan. Tadi pagi, sarapan itu tak habis kulahap. Karena Omak yang menyuruhku untuk cepat bekerja. Mataku mulai mencari warung untuk membeli sedikit makanan. Untungnya di celanaku ada uang tiga ribu.

            Belum sempat aku mengutarakan maksud. Pemilik warung keluar dan menyambutku dengan bentakan.
            “Hei, pogi sana! Jauh-jauh kau dari warungku. Jangan kau kotori dengan bau badanmu. Nanti pamboliku kabur samuo.”

            Akupun diam tertunduk dan berlalu dari tempat itu sambil memegangi perutku yang keroncongan. Mungkin mereka terlalu jijik melihatku. Tapi, apakah aku sama seperti sampah yang selalu kupunguti? Apa pemulung pekerjaan hina? Entahlah, hidup memang terkadang seperti sinetron. Yang dapat berakhir akan kebahagiaan dan dapat pula berakhir dengan penderitaan. Bagaimana dengan diriku? Apa aku juga akan bahagia?

***

            Langkahku terhenti saat melihat mobil mewah parkir di halaman rumah. Aku mengerutkan kening. Berpikir sejenak untuk mengenali mobil itu.

            “Itu kan motor sedan Pak Tohir. Ondak mangapoin dio ka sini?” ujarku penuh tanda tanya.
            Setelah mobil itu pergi dari rumah. Aku melanjutkan langkahku untuk menanyai perihal ini pada Omak.
            “Mak, ngapoin Pak Tohir samo bodyguardnyo kamari? Ado urusan apo?”
            “Tak ado apo-apo. Besok kau tak usah lagi mamulung. Karono Pak Tohir akan mamparsunting kau jadi bini ka ompatnyo.”
            “Apooooo? Bararti omak manjual aku la yo?. Mak, kan sudah Ongah bilang samo Omak, ongah tu ondak jadi panulis. Omak tega kali lihat ongah jadi madunyo Pak Tohir. Omak tak kasihan samo aku ruponyo?,” ucapku dengan suara tinggi.

Plaaakkkk!
 Tamparan itu kembali berhasil mendarat mulus di pipiku. Dalam seminggu ini, entah berapa kali tamparan omak sudah bersarang manis di pipiku.

            “Udah omak bilang jangan manulis. Nang gingging kau dibilangin. Tak ado hasilnyo kolo kau manulis itu. Manikah kau samo pak Tohir tu, kito samuo biso kayo. Ingat kau itu, Ongah!”
            Aku menggigit bibir dalam-dalam. Ucapan omak menusuk ulu hati. Sakit. Bagaimana bisa omak menerima lamaran lelaki brengsek itu?

Tanjung Balai, 4 Juni 2012

Footnote :
Ondak : hendak, ingin.
Ombal : selalu, harus, sering.
Nang : yang
Awak : saya, aku ( dalam dialek bahasa melayu asahan, penyebutan kata “aku” kadang tercampur akan dialek bahasa minangkabau)
Mambongak : bongak atau bohong. Mambongak atau berbohong.
Buek : buat
Ginggingan ; gingging : bandel
Baronti : berhenti
Tagolak : tertawa, gelak.
Diambek : diambil
Pogi : pergi
Pamboli : pembeli
Motor : mobil ( terpengaruh dari dialek melayu Malaysia)
Mangapoin : Ngapain
Ka ompatnyo : Ke empatnya ( dialek bahasa melayu asahan sangat terpengaruh dengan dialek bahasa minangkabau yang selalu bervokal “O”)

1 komentar: