Minggu, 24 Juni 2012

Nada Kerinduan

Nada Kerinduan 

"Aku masih menunggumu di sini," ucapku lirih dengan butiran bening yang jatuh di sudut kelopak mataku.

Sajakku telah berhenti
Pada aksara yang lelah menemaniku
Hanya untaian kata yang terucap
Dari labiri hati 

"Tasi, kuharap kau cepat kembali dan kita akan sama-sama bercerita tentang rasa yang terabaikan," lanjutku.

Alam terlalu bosan mendengar ocehan rinduku ini. Tapi hanya ini yang dapat kulakukan. Semenjak kepergianmu beberapa tahun yang lalu, aku seperti mayat hidup yang berada di tengah-tengah keramaian. Ilalang hanya bergoyang jikalau beningan kristalku jatuh di atas mereka. Angin terus membawa semua rinduku hingga terurai entah kemana.

"Sudahlah, Nov. Jangan kau tangisin dia. Apa kau tak merasa kasihan melihatnya di sana. Dia pun tersiksa atas apa yang terjadi dengan diri kalian," ujar Ira memegang pundakku.

"Aku yakin dia pasti kembali, Ra. Kami akan memungut kembali serpihan rindu yang berserakan di luar sana," sahutku menatap matanya.

Ira hanya bisa menghela napas panjang mendengar penuturanku. Dia mungkin sudah menganggapku gila, bahkan lebih dari itu. Kadang yang tidak pernah kepikiran olehku apa yang terjadi dengan Tasi. Mengapa ia menghilang tanpa jejak dari kehidupanku. Apa aku melakukan kesalahan yang besar, hingga dia pergi? Batinku menjerit.

"Nov, sebaiknya kau istirahat dulu. Aku khawatir dengan keadaanmu. Jangan pernah menyiksa dirimu sendiri atas apa yang tak pernah kau perbuat."

Ira beranjak ke kamarnya. Meninggalkanku di koridor depan rumah. Aku masih enggan untuk bergeser dari tempat dudukku.

"Tasi, aku akan tetap menunggumu." Ucapku sambil membenamkan wajahku dalam celah kedua kakiku.

*
"Bagaimana kabarmu, Nov? Pasti kamu sekarang lebih dewasa dan cantik," tanyamu ketika itu lewat ponsel.

Pipiku merona, walaupun kau tidak akan tahu itu.

"Baik, Tas. Aku masih seperti dulu kok. Masih acak-acakan, dan nggak akan pernah berubah," jawabku tersipu.

"Aku nggak percaya itu. Aku yakin kau pasti berubah banyak. Nov, ada yang ingin kukatakan padamu. Dan ini serius," ucapmu dari sebrang sana dengan nada yang berbeda.

Aku gusar. Perasaanku kala itu aneh. Belum pernah sebelumnya kau berbicara dengan nada seperti itu. Dan aku yakini itu pasti hal yang serius.

"Nov..."

"Ya. Eh,,, mau ngomong apa tadi," ucapku gagap.

"Hmm."

Hening hanya ada helaan napasmu yang kudengar. Cukup lama.

"Aku mencintaimu, Nov. Sangat mencintaimu. Bahkan sejak kita masih SD dulu, aku sudah menaruh perasaan itu. Aku tau ini mungkin terlalu cepat. Tapi, aku benar-benar mencintaimu dan ingin memilikimu seutuhnya."

DEG!!!

Jantungku seperti telah berhenti berdetak. Ada rasa yang aneh mengalir di sekujur badanku. Aneh. ini pertama kalinya Tasi mengungkapkan perasaannya padaku. Selama ini kami seperti anjing dan kucing, tidak pernah akur. Tapi ini, ada apa dengan Tasi.

"Nov..." Panggilmu hati-hati.

"Maaf, Tas."

"Kenapa harus minta maaf, Nov. Seharusnya aku yang minta maaf karena sudah terlalu lancang untuk mencintaimu."

Kudengar ucapanmu kini dengan nada sedih. Aku tidak dapat melihatmu, tapi bisa merasakan suasana hatimu saat ini.

"Aku juga mencintaimu, Tas. Aku juga sudah lama memendam perasaan ini," jawabku akhirnya.

"Benarkah ini yang kudengar. Ini bukan mimpikan."

"Bukan!"

"Makasih, Nov. Aku bahagia sekarang. Walau jarak yang jauh sebagai penghalang kita. Aku yakin kita pasti bisa melewatinya. Sebagai rasa bahagiaku, izinkan aku menyanyikan lagu untukmu."

Tanpa menunggu jawaban dariku. Samar-samar kudengar petikan gitar yang selalu kau mainkan sejak dulu.


Kau begitu sempurna
Di mataku kau begitu indah
Kau membuat diriku
Akan selalu memujamu

Di setiap langkahku
Ku kan selalu memikirkan dirimu
Tak bisa ku bayangkan
Hidupku tanpa cintamu

Janganlah kau tinggalkan diriku
Takkan mampu menghadapi semua
Hanya bersamamu ku akan bisa

Kau adalah darahku
Kau adalah jantungku
Kau adalah hidupku
Lengkapi diriku

Oh sayangku kau begitu
Sempurna, sempurna
Kau genggam tanganku
Saat diriku lemah dan terjatuh
Kau bisikkan kata
Dan hapus semua sesalku

 Rasa terharu membuatku menangis tanpa sadar. Lagu Andra and The Backbone dengan lirik "Sempurna" membuatku terhanyut di dalamnya.

"Itu yang kusuka darimu. Suaramu, petikan gitarmu selalu menjadi nayawa dalam hidupku," ucapku dalam hati.

"Makasih Tasi buat semuanya. Lagu yang kau persembahkan untukku.Aku sangat menyukainya," pujiku.

"Iya, sayang. Aku janji akan terus menyanyikannya untukmu. Menemanimu dalam sepi dengan petikan gitarku. Aku selalu mencintaimu. I love you."

"I love you too."

*

"Nov, yuk ikut aku pantai. Mungkin bisa membuat hatimu lebih baik dari sekarang," ajak Ira.

Ira sepupu sekaligus teman curhatku. Dia lebih mengerti aku dengan perasaan rindu pada Tasi. Membiarkan bajunya basah dengan airmataku. 

"Aku lagi malas keluar, Ra," sahutku lesu.

Ira menghempaskan pantatnya di sampingku. Dengan lembut ia mengelus rambutku seperti menghadapi seorang anak kecil.

"Nov, jangan bohongi aku. Dengarkan aku ya, jika kau terus seperti ini yang ada kamu nggak bakal bisa ketemu Tasi. Kamu harus kuat dan tetap semangat. Nanti aku bakalan bantu kamu buat cari dia," bujuknya.

Dengan enggan kulangkahkan kaki menuju kamar mandi. Membersihkan kotoran yang menempel pada tubuhku dan membuat wajah lusuhku secerah langit pagi ini.

*

"Nov, gimana kamu sukakan dengan suasananya. Aku tau kamu bakalan suka. Soalnya siapa yang nggak tau seorang Novi yang maniak biru, suka pantai, dan rela menghabiskan waktunya berjam-jam hanya untuk memandang birunya laut," celetuk Ira menggodaku.

Aku hanya tersenyum simpul mendengarnya. Aku seharusnya tidak seperti ini, mengabaikan semua usaha Ira untuk membuatku tersenyum dan melupakan sejenak Tasi. Tidak, bukan melupakannya. Hanya membiarkannya sejenak beristirahat dalam pikiranku.

"Ra, bolehkan aku bermain dengan pantai," pintaku seolah-olah Ira adalah orangtuaku.

"Hahaha, kamu ini ada apa sih Nov. Ya sudah sana, ngapain pakai izin segala sih," gelaknya.

Perlahan kulangkahkan kaki telanjangku ke ujung bibir pantai. Menikmati jilatan ombak yang sangat antusias. Sesekali angin laut berhembus menerpa rambut dan menampar wajahku. Aku begitu bersahabat dengannya. Berkali-kali kufokuskan tatapanku pada laut, dan entah kenapa bayangan akan dirimu bermain di sana.

"Taaassiiiiiiii." Pekikku bersama hantaman ombak ke karang.

"Nov, kamu kenapa," tanyanya khawatir denganku.

"Aku benar-benar merindukannya, Ra. Aku nggak bisa melupakannya. Seberapa langkahpun aku menjauh, Tasi selalu hadir dalam bayangan. Ia tersenyum dan mengajakku ke suatu tempat. Aku kangen, Ra..." Ucapku dalam tangis.

"Nov, sabar. Jangan pernah seperti ini. Tasi nggak ada di sini."

"Ra, sampai kapan aku terus sabar seperti ini. Sampai kapan aku aku akan diam tanpa berusaha mencarinya. Aku mencintainya, Ra."

Pertanyaan demi pertanyaan kulontarkan padanya. Dia bungkam dan tidak bisa menjawab satupun pertanyaanku. Ya, itu hal konyol. Mana mungkin dia bisa mengerti semua perasaan yang kuhadapi, tanpa ia merasakannya.

Aku mundur beberapa langkah darinya. Menjauh dan berlari semampuku untuk tidak melihat wajahnya. Aku terlalu muak dengan kata-katanya yang tidak pernah mengerti tentangku.

*
"Nov, aku rasa hubungan kita nggak bersama lagi. Aku takut hubungan kita akan putus di tengah jalan," ucapnya suatu hari.

"Tasi, aku percaya nggak akan ada apa-apa dalam hubungan kita. Aku sayang kamu dan begitu juga sebaliknya. Jadi nggak ada yang perlu ditakutkan," jawabku datar.

"Nggak, Nov. Kita harus berpisah, jika kita berjodoh aku yakin takdir akan mempertemukan kita. Menyatukan kita kembali."

Aku tertunduk lesu. Harusnya saat ini kita tertawa ria. Kerinduan yang sudah menumpuk pada ruang hati bisa tercurahkan dengan suka cita. Tapi kenapa kau membawa berita buruk. Bahkan lebih buruk dari kematian.

"Maafkan aku, Nov. Aku yakin kau pasti bisa menghadapinya. Aku nggak mau kau kecewa denganku karena aku nggak bisa membahagiakanmu," lanjutmu kemudian.

*

Pernah ada rasa cinta antara kita
kini tinggal kenangan
ingin kulupakan semua tentang dirimu
namun tak lagi kan seperti dirimu
oh bintangku

jauh kau pergi meninggalkan diriku
disini aku merindukan dirimu
kini kucoba mencari penggantimu
namun tak lagi kan seperti dirimu
oh kekasih

jauh kau pergi meninggalkan diriku
disini aku merindukan dirimu
kini kucoba mencari penggantimu
namun tak lagi kan seperti dirimu
oh kekasih

pernah ada rasa cinta antara kita
kini tinggal kenangan
ingin kulupakan semua tentang dirimu
namun tak lagi kan seperti dirimu
oh bintangku

jauh kau pergi meninggalkan diriku
disini aku merindukan dirimu
kini kucoba mencari penggantimu
namun tak lagi kan seperti dirimu
oh kekasih

Kupetik gitar yang sudah lama tidak pernah kujamah. Semenjak kepergian dirimu aku membenci gitar. Malam ini rasa rinduku telah memuncak. Kupaksa jemari untuk memainkannya dan menyanyikan lirik lagu yang sama seperti perasaanku saat ini. 

"Tasi, kuharap lagu ini mampu menyampaikan semua rinduku yang membuatku sesak," lirihku.

Bintang menapaki dinding langit satu persatu ditambah dengan pancaran rembulan yang bersembunyi di belakang awan hitam. Airmata terus bergulir membasahi pipiku. Tanpa memperdulikan ejekan dari rombongan jangrik yang terus bersahut-sahutan mentertawakanku dalam kerinduan.

Malam ini mengajarkanku tentang sepi yang tidak bertuan. Rindu yang terdampar pada alamat yang salah. Apakah aku harus melupakan dia? Melupakan suaranya dan petikan gitar yang selalu menemaninya jikala aku sedih. Memberikanku cawan madu yang disuguhkannya dengan cinta. 

*
"Nov, ada undangan untukmu. Dan aku harap kamu bisa tahan emosinu," tutur Ira.

Aku melonggo dalam kebingungan mendengar ucapannya.Tanganku gemetar saat menerima sebuah kertas biru yang diikat pita dari Ira. 

Lututku serasa lemas, jantungku berdetak tidak beraturan. Rasanya aku ingin mengeluarkan semua isi hatiku sekarang. Kulihat nama yang tertera pada undangan biru itu. Pernikahan Mangatasi Bagariang dengan sahabat SDku dulu, Tya Agum Gumelar. Kucoba menahan butiran hangat yang sudah memaksa untuk keluar. Dan, akhirnya aku tidak sanggup menahannya.

"Ini nggak mungkin. Sejak kapan Tasi menyukai Tya, ini pasti salah. Ini pasti salah," pekikku histeris.

"Nov, aku tadinya nggak percaya. Tapi inilah kenyataannya. Ada secarik surat didalamnya. Kamu harus baca, mungkin ada penjelasan dari Tasi akan hal ini." Ira menenangkanku.

Buru-buru kubuka surat yang ada di dalam. Tanganku gemetar bersama airmata yang menemaniku.

Dear, Novitaku
Jakarta, Maret 2011

Aku harap keadaanmu sama seperti dulu. Selalu ceria, tertawa, dan tersenyum walau luka menggores hatimu. Maafkan aku, Nov. Sejak aku meninggalkanmu hidupku berantakan, aku benar-benar kehilanganmu. Dan kamu tahu, orangtuaku menjodohkan aku dengan Tya teman kita dulu. Keluargaku sudah banyak berhutang budi dengan keluarga Tya, Mau nggak mau aku harus menerimanya.

Nov, aku tau kau pasti kecewa dengan diriku. Kau pantas mengumpat bahkan menghujatku, jika itu membuatmu lega. Nov, aku menunggumu di sini. Aku ingin melihat wajahmu terakhir kalinya. Kuharap kau datang.

Kau adalah darahku
Kau adalah jantungku
Kau adalah hidupku
Lengkapi diriku


Sebait lagu yang pernah kunyanyikan untukmu pertama kalinya. Aku akan selalu mencintaimu walau tak seperti dulu. Namamu masih ada di sini, hatiku. I love you.

Orang yang mencintaimu
Tasi

"Kau penipu, Tas. Kau hancurkan perasaanku. Kau bajingan!" Jeritku memuncak.

Kuremas surat yang baru saja kubaca. Kulempar hingga aku benar-benar merasa terpukul. Harapanku untuk menebus semua kerinduan ini telah hancur tidak berbalas. Tasi benar-benar sudah melupakan cinta yang pernah diucapkannya. Aku terlalu bodoh menunggu lelaki yang tidak pantas untuk kutunggu.

*

Ira menatap iba padaku. Setiap mendengar semua lagu tentang rindu, aku selalu menjerit histeris ketakutan. Lari ke sudut, mendekap kakiku rapat-rapat, dan seperti orang linglung. Sejak peristiwa itu, aku sudah dinyatakan gila oleh pihak rumah sakit yang merawatku. Hanya Ira yang masih setia menjagaku. Walau terkadang ia menjadi objek utamaku untuk melampiaskan sesuatu yang kadang datang menghantuiku.

Menangis aku kenang
Saat hatiku kau tinggalkan
Hanya sakit yang aku pendam
Dalam rindu yang semakin dalam
Tak tahu harus dimana ku temukan jawabnya

Kau pujaanku dimana
Ku sakit harus menunggu lama
Merana hati merana
Dalam rindu aku bertanya


Kekasih kau yang ku kenang
Jatuhkanku dalam lingkaran
Walau sakit yang aku pendam
Rindu ini tak kunjung padam
Tak tahu harus dimana ku temukan ooh


Kau pujaanku dimana
Ku sakit harus menunggu lama
Merana hati merana
Dalam rindu aku bertanya


Kau pujaanku dimana
Ku sakit harus menunggu lama
Merana hati merana
Dalam rindu aku bertanya


Merana hati merana
Dalam rindu aku bertanya
Sampai nanti selalu bertanya


Tanjung Balai, 25 Juni 2012
09.11






Tidak ada komentar:

Posting Komentar