Rabu, 27 Juni 2012

Sebatas Teman

Sebatas Teman 


"Maaf, Mas. Mungkin rasa yang Mas ucapkan hanya sesaat saja," ucapku bergetar.

"Itu menurutmu, Dik. Tapi aku yakin dengan perasaan ini. Aku tahu, kau pasti tak akan percaya setelah apa yang kuperbuat satu tahun silam."

Ya, kau sudah tau jawabannya. Aku takut untuk merasakan sakit dari orang yang sama. Takut untuk dikecewakan dan dicampakkan begitu saja.

"Dik..." panggilmu lirih.

"Ya, Mas."

"Beri aku kesempatan untuk menebus kesalahan itu. Aku menyadari kebodohanku telah membuang rasa yang tulus kau berikan padaku. Sekarang aku baru mengerti kalau dirimu cinta pertamaku," ujarmu memelas.

 Tuhan, tolong aku dari semua perasaan ini. Haruskah aku memberikan kesempatan ini padanya? Aku masih takut! Bahkan aku belum bisa mempercayai semua kata yang keluar dari bibirnya. 

"Maaf, Mas...." ucapku lebih lirih dari sebelumnya.

"Apa kau sudah memiliki penggantiku? Apa kau tega membiarkanku dalam sepi yang mengutukku?"

"Apa maksudmu Mas?" Kini kuberanikan untuk menjawab semua pertanyaanmu. "Kau bilang aku tega! Siapa yang lebih tega membiarkan aku terdampar pada luka?" Suaraku meninggi.

"Aku wanita, Mas. Perasaanku akan rentan bila ada luka yang siap menggores hatiku. Apa kau bisa merasakan apa yang kurasakan dulu? Apa kau masih ingat saat aku mengemis cinta padamu?" Lanjutku diiringi beningan kristal yang tidak dapat kutahan.

Kau hanya tertunduk merenung setiap layar memori yang hadir di kepalamu. Aku masih terus menangis. Apalagi yang bisa kuperbuat untuk semuayang telah terjadi.

"Baiklah, mungkin aku terlalu hina memasuki ruang sucimu lagi, Dik. Benar ucapanmu! Kemana aku saat kau sakit, terpuruk, dan kesepian olehku. Penyeselan. Itu kata yang pantas untukku. Aku lelaki tak bermalu!" Serumu seratya mengutuk diri sendiri.

"Tidak, Mas. Hanya waktu dan keadaan yang merubahmu. Sekarang kita hanya teman. Ya, teman biasa. Kuharap kau dapat menemukan jauh lebih baik dariku," ucapku datar menghapus lembut airmata yang telah jatuh.

Ya, kita hanya teman sekarang. Teman yang dulunya adalah sepasang kekasih. Dan aku harus terluka karena percaya akan kebohongan yang telah kau tulis dalam kertas skenariomu. Dulu kita bersama. Jauh sebelum kau meninggalkanku dengan banyak luka yang menyayatku.

"Izinkan aku menempatkan namamu di sini, hatiku," pintamu.

"Aku tak akan melarang. Tapi, jangan pernah jadikan aku racun pada hubunganmu esok, Mas. Karena aku ingin kita menjaga agar luka itu tak semakin lebar."

Kau mengangguk lemah. Seperti tidak rela jika hanya menyimpan namaku. Tapi apa mau dikata. Nasi telah menjadi bubur. Dan kau harus menelannya, walau mulutmu tidak menerima.









Tidak ada komentar:

Posting Komentar